Minggu, 15 Mei 2016

Sikap Hidup Orang Jawa



Sikap Hidup Orang Jawa

Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa dengan masyarakatnya yang pluralistic mempunyai berbagai macam, bentuk, dan variasi dari kesenian budaya. Kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh peradaban budayanya. Suku bangsa  Jawa memiliki pengetahuan yang menjadi dasar pemikiran dan sejarah kebudayaanya yang khas, dimana dalam epistemology dan kebudayaanya digunakan simbol-simbol  atau lambang-lambang sebagai sarana atau media untuk menitipkan pesan-pesan atau nasehat-nasehat bagi bangsanya. Dari data sejarah  jawa memang menunjukan tentang penggunaan simbol-simbol itu dalam tindakan, bahasa dan religi Jawa, yang telah digunakannya sejak zaman prasejarah.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa baru yang terdiri dari berbagai suku bangsa, yang semua pada dasarnya adalah pribumi, artinya, semua adalah suku-suku bangsa yang mesikpun dahulu kala bermigrasi dari tempat lain, secara turun temurun telah tinggal diwilayah geografis Indonesia sekarang ini, dan merasa bahwa itu adalah tanah airnya. Bangsa baru ini terbentuk karena suatu kemauan politik untuk menyatukan diri, dan dengan itu membangun sebuah Negara serta membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan oleh bangsa lain. Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia Indonesia hingga dewasa ini secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai tumpukan pengalaman budaya dan pembangunan budaya yang terdiri dari lapisan-lapisan budaya yang terbentuk sepanjang sejarahnya (Edi Setyawati, 2006 ; 315, 317).
Dengan membandingkan kebudayaan Jawa di daerah pedesaan dan kebudayaan Jawa di perkotaan, tetapi didasarkan pada perbedaan antara agama Islam Jawa yang sinkretis, yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu dan Islam, dan agama Islam yang puritan, atau mengikuti ajaran agama secara lebih taat. Walaupun ada perbedaan-perbedaan antara kehidupan beragama para pegawai di kota-kota, suatu deskripsi yang bertolak dari kedua varian dalam agama Islam di Jawa itu akan lebih jelas (Koentjaraningrat, 1994 ; 310).
Kebudayaan Hindu-Budha di daerah-daerah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur selama paling sedikit dua abad telah menghalangi masuknya agama Islam, yaitu ketika kemakmuran dan kekuatan kota-kota pantai dari daerah pesisir menurun karena munculnya perdagangan dan kemudian kekuasaan orang-orang Eropa di Nusantara ini (Koentjaraningrat, 1994 ; 310).
Pandangan hidup orang jawa atau filsafat Jawa yang berupa rangkuman dari alam pikir Jawa tradisional, kepercayaan Hindu atau filsafat India dan ajaran tasawuf/mistikisme Islam. Pandangan hidup tersebut telah banyak dituangkan ke dalam karya-karya sastra pujangga Baru pada Zaman Surakarta, baik dalam bentuk prosa atau puisi/tembang Jawa (Budiono Herusatoto, 2008 ; 114).

Sikap dan tingkah laku masyarakat orang Jawa
Budaya iku dadi kaca benggalaning bangsa (kebudayaan itu menjadi cermin besar yang menggambarkan peradaban suatu bangsa), demikian kata pepatah jawa . setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kabudayaan (kebudayaan) sendiri yang berbeda dengan kebudayaan bangsa atau suku bangsa lainnya membuktikan bahwa peradaban suatu bangsa atau suku bangsa yang bersangkutan memiliki pengetahuan, dasar-dasaar pemikiran dan sejarah peradaban yang tidak sama antara satu dengan lainnya.
Fenomena kehidupan orang Jawa yang menunjukan simbolisme itu tampak dalam tata kehidupan kesehariannya baik dalam penggunaan bahasanya, sastra, seni, dan langkah tindakan-tindakannya, baik dalam pergaulan sosial maupun dalam upacara-upacara spiritual dan religinya yang selalu menggunakan simbol-simbol untuk mengungkapkan rasa etis, estetis, spiritual dan religi untuk menuangkan citra budayanya ( Budiono Herusatoto, 2008 ; 1, 2 ).
Pembicaraan  tentang  Jawa, kejawen, merupakan  pembicaraan yang  tiada  putus bagi orang Jawa. Kejawen memiliki kedekatan  arti  dengan  kultur  Jawa, yang berarti juga melingkupi bagaimana seorang Jawa itu bertingkah polah menjalani hidup Sebagai  sebuah  kultur, kejawen  juga  melingkupi  pola pikir  serta sikap  dan  pola  kehidupan.  Misalnya, dengan  menerapkan  pola  pikir  seperti andhap  asor  (santun),  menghormati  orang lain,  serta  tidak  bersikap  egois, kasar atau arogan,  yang  tidak  menunjukkan sikap  hidup  orang Jawa. Berikut beberapa contoh sikap dan norma yang telah mengalami perubahan yang terjadi pada masyarakat jawa sekarang pada umumnya :

  1. Cara Menghormati Orang yang Lebih Tua Melalui Tutur Kata
Bahasa adalah sistem lambang berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang arbiter yang  dipakai  oleh  anggota-anggota  masyarakat  untuk  saling  berhubungan  dan berinteraksi.  Sebagai  suatu  sistem,  bahasa  itu  mempunyai  aturan-aturan  yang  saling bergantung dan mengandung struktur unsur-unsur untuk dianalisis secara  terpisah-pisah. Orang berbahasa mengeluarkan bunyi-bunyi berurutan membentuk suatu struktur tertentu (Hengki Sudarmawan, 2004 ; 18 ).
Tingkat  tutur  ngoko mencerminkan  rasa  tak  berjarak  antara  penutur  terhadap mitra  tutur, artinya penutur tidak memiliki  rasa  segan  terhadap mitra tutur. Sedangkan  tingkat tutur krama yaitu tingkat tutur yang mengungkapkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini menandakan  adanya  perasaan  segan  ‘pakewuh’  penutur  terhadap  lawan  tutur,  karena lawan  tutur adalah orang yang belum dikenal, atau berpangkat atau priyayi, berwibawa, dan  lain-lain. Pemakaian  tingkat  tutur krama  mencerminkan perhormatan penutur  terhadap mitra  tutur. Pemakaian  tingkat  tutur krama biasanya digunakan oleh status sosial rendah terhadap status sosial lebih tinggi, misalnya terjadi  antara  pembantu  dengan  majikannya,  abdi  dalem  dengan  trah  praja,  pegawai dengan atasannya, pemuda dengan orang yang lebih tua atau disegani dan sebagainya. (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979  : 14 ).

2.       Berpamitan kepada Orang Tua dengan Mencium Tangan
Ketika kita waktu kecil, pasti sudah diajarkan bagaimana cara menghormati orang tua selain dengan sikap dan sopan santun kita terhadap orang tua, termasuk bagaimana menghormati orang tua dengan mencium tangan mereka.
Mencium tangan orang tua mungkin adalah hal yang lazim kita lakukan sehari-hari. Ketika kita ingin bepergian atau berpamitan untuk keluar rumah biasanya kita meminta ijin dengan mencium tangan mereka. Selain itu mencium tangan orang tua juga bisa diartikan dengan pemberian rasa hormat kita sebagai seorang anak kepada orang tua. Mencium tangan orang tua mungkin memang hanya diajarkan oleh agama islam, dimana mencium tangan orang tua merupakan sunah dan Nabi Muhammad SAW mengajarkan kita untuk hal itu.
Pada saat ini sangat jarang hal tersebut dilakukan, karena kondisi orang tua dan anak yang sama-sama kurang mempunyai kesadaran. Orang tua yang gila dengan pekerjaan tak pernah berfikir hingga sedemikian rupa. Beliau hanya berfikir bahwa materi dapat memberikan kasih sayang yang lebih terhadap anaknya. Sehingga anak pada jaman sekarang banyak yang tumbuh tidak sesuai dengan norma yang berlaku, terutama pada sikap anak jaman sekarang cenderung individualis. Akan tetapi saat ini telah banyak diperlihatkan bahwa kebudayaan yang ada kini kita berkiblat menggunakan kebiasaan orang barat dengan menggunakan cara berpamitan dengan orang tua ketika akan keluar rumah mencium pipi kedua orang tua mereka.
Suku Jawa umumnya mereka memiliki sifat lebih suka menyembunyikan perasaan. Menampik tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang dijaga. Misalnya saat bertamu dan bertemu dengan orang-orang yang dianggap lebih tua. Karakter khas seorang yang bersuku Jawa adalah bersalaman sembari mencium telapak tangan orang yang dikunjungi dan dirasa lebih tua sehingga patut dihormati, bahkan terkadang sikap sungkan mampu melawan kehendak atau keinginan hati. Suku Jawa memang sangat menjunjung tinggi etika. Sehingga sikap yang ditunjukkan orang yang lebih muda hendaknya betul-betul mampu menjaga sikap etika yang baik terhadap orang yang usianya lebih tua dari dirinya, dalam bahasa jawa Ngajeni. sikap hidup orang Jawa yang menejunjung tinggi nilai-nilai positif dalam kehidupan. Dalam interaksi antar personal di masyarakat, mereka selalu saling menjaga segala kata dan perbuatan untuk tidak menyakiti hati orang lain.
Namun pada masyarakat jawa saat ini sikap ramah dan sopan terhadap orang yang lebih tua memang masih ada namun hanya dilakukan dengan berjabat tangan saja tanpa mencium telapak tangan hal tersebut sudah jarang dilakukan karena beberapa faktor salah satunya memang tidak semua orang melakukan kebiasaan cium tangan kepada orang tua atau kepada guru mereka. Hal ini disebabkan karena memang sejak kecil mereka tidak dibiasakan untuk mencium tangan sebagai tanda hormat. Seperti hal nya orang yang beragama non muslim. Mereka tidak diajarkan bagaiman tata cara mencium tangan kedua orang tua, dan lain hal nya dengan yang beragama muslim yang memang sudah diajarkan untuk membiasakan diri mencium tangan orang tua atau orang yang lebih tua dari mereka dan juga hal ini memang merupakan sunah.

3.      Gotong royong
Salah satu kegiatan yang menjadi kunci dalam kondisi sosial dan politik dan budaya di Indonesia.  Hal itu kita kenal dengan gotong royong, suatu frase yang berasal dari bahasa Jawa yaitu ngotong yang dalam bahasa Sunda berarti membawa sesuatu secara bersama-sama dan royong.  Gotong royong merupakan sebuah penggambaran kehidupan sosial masyarakat Indonesia, diawali dari masyarakat pedesaan di Jawa sebagai bentuk hubungan sosial yang membawa masyarakat dalam sistem timbal balik dan digerakkan oleh etos umum yang ada dalam masyarakat dan kepedulian terhadap kepentingan bersama.
Gotong Royong menggambarkan perilaku-perilaku masyarakat pertanian desa yang bekerja untuk yang lainnya tanpa menerima upah, dan lebih luas, sebagai suatu tradisi yang mengakar, meliputi aspek-aspek dominan lain dalam kehidupan sosial.  Gotong royong dapat diartikan sebagai aktivitas sosial, namun yang paling penting dalam memaknainya adalah menjadikannya filosofi dalam hidup yang menjadikan kehidupan bersama sebagai aspek yang paling penting. Gotong royong menjadi bagian dari budaya Indonesia dalam generalisasi mengenai bentuk-bentuk sosial semacam ini menimbulkan pertanyaan antara sifat alamiah timbal balik dan pekerja untuk kepentingan bersama di wilayah pedesaan.

4.      Saling Memberi
Didalam masyarakat jawa telah diajarkan sebuah sikap saling mengasihi antar sesama. Saling mengasihi tercemin dalam sikap masyarakat jawa disaat melihat orang yang membutuhkan bantuan kita. Misalnya pengemis. Pengemis merupakan seseorang yang tidak mampu dan saat kita mnegetahuinya kita wajib membantu. Sehingga orang tua dahulu selalu memberikan pengertian dan mendidik anaknya untuk selalu meberika perhatian lebih terhadap pengemis. Pengemis pada dasarnya merupakan seorang yang tidak mampu menjalani hidupnya dengan alasan tertentu, sehingga ia tidak dapat melakukan hal lain selain mengemis untuk dapat memenuhi kebutuhanya. Sehingga disaat kita menemukan seorang pengemis dalam agama kita masing – masing sangat dianjurkan untuk saling memberi.

5.      Mempersilakan Masuk Tamu
Budaya jawa yang berkembang kepada masyarakat cukup banyak, dalam perkembanganya budaya tersebut ada yang masih tetap untuh namun terdapat beberapa budaya yang hilang ataupun punah. Salah satu budaya masyarakat jawa yang hamper punah adalah cara masyarakat jawa dalam menghargai tamu. Dalam menghargai tamu masyrakat jawa melakukan beberapa hal selain menyiapkan suguhan dalam menerima tamu masyarakat jawa biasanya mengacungkan jempol tangan sebagai tanda penghormatan untuk mempersilakan masuk. Mengacungkan tangan ketika mempersilakan masuk tamu merupakan sebuah penguatan bahasa non-verbal. Hal tersebut merupakan sebuah bentuk apresiasi terhadap tamu selain menggunakan bahasa lisan, dalam hal ini kegiatan tersebut dinyatakan dengan bahasa tubuh.
Pada saat ini dalam mempersilakan masuk tamu orang jawa memiliki tradisi yang berbeda dengan orang jawa jaman dahulu. Pada saat ini orang jawa dalam mempersilakan masuk hanya menggunakan kata-kata yang halus dan sopan misalkan dengan kata-kata “ monggo pinarak mlebet “ dengan arti mari silakan masuk kedalam. Dalam penggunan bahasa pun masyarakat jawa sangat memperhatikan dalam lafal pengucapanya. Orang jawa memang selalu menuturkan dengan halus sehingga diharapkan tidak menyakiti tamu, sehingga tamu dapat lebih krasan dan lama dalam bertamu.
Bagi masyarakat jawa tamu memang dianggap sebagai raja yang memang patut untuk dihargai keberadaanya. Sehingga dalam penyambutanya pun orang jawa sangat memperhatikan kedatanganya. Mulai dari cara mempersilakan masuk hingga caranya dalam mentuguhkan hidangan disaat tamu tersebut datang dan berkunjung.

Orang Jawa pada prinsipnya wajib mempertahankan dan wajib membawa diri sesuai dengan nilai budayanya. Prinsip hormat ini dapat disejajarkan dengan prinsip sopan-santun dalam pengertian yang luas, baik dalam bahasa maupun dalam pergaulan sehari-hari. Sopan-santun dalam prilaku orang jawa menyangkut dua hal, yaitu tingkah laku atau sikap.
Budaya lahir karena tradisi turun temurun sehingga tetap terjaga kelestarianya. Saat ini para generasi mudah sudah banyak tidak mngetahui bahasa yang digunakan orang jaman dahulu. Hal ini disebabkan karena generasi muda saat ini kurang mampu  bertutur  krama  yang  baik  dan benar  hal ini  sudah  berlangsung  lama.  kemampuan  berbahasa  Jawa  krama  generasi  muda  masyarakat  Jawa sebenarnya  mulai  terjadi. Gejala  itu menunjukkan bahwa sebenarnya  rasa bangga dan  rasa setia serta kesadaran akan norma terhadap bahasa Jawa generasi muda sudah mulai luntur.


DAFTAR PUSTAKA
Sedyawati, Edi, BUDAYA INDONESIA, Jakarta:  PT. Raja Grafindo Persada.
Koentjaraningrat, 1994, KEBUDAYAAN  JAWA, Jakarta: Balai Pustaka.
Herusatoto, Budiono, 2008, SIMBOLISME JAWA, Yogyakarta: Ombak.
Hengki Sudarmawan, 2005. Tingkat tutur bahasa jawa krama pada generasi muda sinoman di kecamatan Grogol kabupaten Sukoharjo. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Poedjosoedarmo, Soepomo,  et al.  (1979). Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar