Mengenal Lebih Awal Budaya
Wong Jawa
Dalam
suatu masyarakat, dapat dilihat bahwa para warganya walaupun mempunyai sifat-sifat
individual yang berbeda, tetapi mereka akan memberi reaksi yang sama pada
gejala-gejala tertentu. Sebab dari reaksi yang sama itu karena mereka memiliki
sikap-sikap umum yang sama, nilai-nilai yang sama dan perilaku yang sama.
Hal-hal yang dimiliki bersama itulah yang dalam antropologi budaya
dinamakan kebudayaan. Dalam setiap
masyarakat, disamping terdapat pola-pola budaya yang nyata-nyata merupakan
kebiasaan, juga terdapat pola-pola budaya ideal, yaitu hal-hal yang menurut
warga masyarakat harus dilakukan, atau norma-norma. (Ihromi:13)
Dilihat
dari berbagai tujuan dan sudut pandang tentang kebudayaan, menunjukkan bahwa
kebudayaan itu merupakan suatu persoalan yang sangat luas, namun esensinya
adalah bahwa kebudayaan itu melekat dengan diri manusia. Artinya manusialah
pencipta kebudayaan itu. Kebudayaan merupakan kelahiran dari manusia itu
sendiri. Sehingga kebudayaan dapaat dilihat dari dua sisi, yaitu kebudayaan
sebagai suatu proses dan kebudayaan sebagai
suatu produk.
Sedangkan
tradisi adalah kumpulan kebiasaan tentang batas kelompok dan tentang pandang
dunia, yang biasanya diteruskan kepada orang-orang muda dari suatu masyarakat
dalam mempersiapkan mereka akan partisipasi penuh sebagai orang-orang dewasa
dalam budaya itu. Transmisi ini berlangsung melalui ritus-ritus inisiasi pada
pubertas, melalui sistem-sistem pendidikan, dan melalui pergaulan dalam
kehidupan sehari-hari. Tradisi menyediakan perbendaharaan yang nyata ini, yang
dapat diacu guna mempertahankan jati diri bila diancam, dan untuk menegaskannya
bila perlu. Karena jati diri bukanlah sesuatu yang sifatnya tampak secara
alamiah.
A. Daerah Asal Kebudayaan Jawa
Kebanyakan orang Jawa hanya mendiami bagian tengah dan timur
dari seluruh Pulau Jawa; sebelah baratnya (yang hampir merupakan Dataran Tinggi
Priangan), seperti yang kita ketahui, adalah daerah Sunda. Batas dari daerah
Jawa dan Sunda sulit ditentukan secara tepat, tetapi garis batas itu dapat
digambarkan di antara Sungai Citandui dan Sungai Cijulang di sebelah selaatan,
serta kota Indramayu yang berada di sebelah utara. Seperti halnya orang Jawa,
Orang Sunda merupakan suku-bangsa dengan penduduk yang besar (merupakan nomor
dua terbesar di Indonesia, dengan jumlah penduduk sebesar 20 juta pada tahun
1971).
Hampir
seluruh Pulau Jawa memang padat penduduknya, bahkan Pulau Madura yang gersang
di sebelah timur-laut Pulau Jawa juga memiliki angka nyawa yang banyak, sekitar
dua juta jiwa pada tahun yang sama. Pulau jawa yang luasnya hanya 7% dari
seluruh Kepulauan Indonesia bahkan dihuni oleh lebih dari 60% dari keseluruhan
penduduk yang ada di Indonesia; yang mana merupakan daerah asal kebudayaan
Jawa.
Bukit-bukit kapur pada umumnya berbentuk rata, dengan
ketinggian yang tidak mencolok, terdapat di sekitar pantai utara Jawa Timur dan
pantai selatan. Di kaki-kaki gunung berapi dekat pantai utara selatan dan
pantai utara di sebelah timur Pulau Jawa. Di banyak tempat di pantai selatan,
pegunungan tersebut merupakan tebing-tebing yang curam.
Dari lereng-lereng gunung dan bukit mengalir sungai-sungai
yang membawa batu-batu muntahan gunung-gunung berapi ke lembah-lembah yang luas
di tepi sungai-sungai besar. Lembah yang terdiri dari tanah pasir dan batu
kerikil halus itu mengandung kesuburan yang tinggi untuk pertanian, dengan suatu
kapasitas kandungan air yang tinggi pula. Sungai Brantas di Jawa Timur, membawa
bahan-bahan vulkanis yang subur ke daerah-daerah selatan yang rendah, yang
diendapkan di sepanjang pantai selatan Jawa Tengah dan sepanjang pantai utara
Jawa Timur.
karena letaknya di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan
Benua Australia, maka Kepulauan Indonesia pada umumnya, khususnya Kepulauan
Jawa memiliki iklim yang dipengaruhi oleh angin musim, yang dalam satu musim
berembus dari Benua Hindia, dan musim lainnya dari Benua Australia yang kering.
Selama bulan-bulan Desember hingga Mei, akibat musim, di daerah barat-daya
turun hujan lebat, dan selama bulan-bulan Juni hingga November, akibat musim,
di tenggara terjadi musim kering. Curah hujan yang terlampau besar disebabkan
karena penguapan yang sangat besar, menyebabkan cepat kurusnya tanah. Oleh karena itu di daerah pegunungan curah
hujan juga lebih besar daripada di dataran rendah, begitu juga sisi-sisi
lereng-lereng gunung yang mendapat embusan angin. Lereng-lereng gunung yang
berada pada sisi-sisi yang berlawanan mempunyai ciurah hujan yang tinggi. Suhu
Pulau Jawa pada umumnya konstan, dengan perbedaan kecil dari hari ke hari,
yaitu 80˚ di dataran rendah di daerah pantai, dan 60˚ di daerah pedalaman
pegunungan. Pulau Jawa memiliki panjang lebih dari 1.200 km dengan lebar 500 km
bila diukur dari ujung-ujungnya yang terjauh. Pulau Jawa terletak di tepi
sebelah selatan Kepulauan Indonesia, kurang lebih tujuh derajat di sebelah
selatan garis khatulistiwa. Pulau Jawa sendiri hanya merupakan tujuh persen
dari total Kepulauan Indonesia.
Sepanjang daerah Pulau Jawa melintang gunung berapi, baik
yang masih bekerja maupun tidak, antara 1.500 hingga 3.500 meter di atas
permukaan laut. Gunung-gunung berapi dengan celah-celah yang mengeluarkan
gas-gas dan asap, senantiasa memuntahkan lava dan abu. Kecuali gunung-gunung
berapi utama ini, ada gunung-gunung dan bukit-bukit yang lebih kecil yang
terpencar letaknya, yang ada kalanya berasal dari gunung-gunung berapi utama.
B. Jumlah Penduduk Jawa
Sudah diketahui bahwasanya Pulau Jawa memiliki penduduk yang
tingkat kepadatannya jauh lebih besar daripada pulau Nusantara yang lain, dan
sejak pertengahan abad ke 19 migrasi pun menjadi hal yang spontan dan lumrah
maupun dipaksakan terhadap orang-orang Jawa ke pulau lain. Sejak tahun 1870
petani Jawa dikontrak untuk bekerja di perkebunan tembakaua atau tambang timah
di Sumatra Utara dan Sumatra Timur. Hal ini bukan lagi asing bagi penduduk Jawa
mengingat pada zaman-zaman sebelumnya mereka sudah dipaksa untuk bekerja di
daerah jajahan-jajahan Belanda seperti Tanjung Harapan Afrika.
Laju pertumbuhan di Pulau Jawa sangat tinggi tanpa
mengetahui jumlah pasti dari angka tersebut. Dari penduduk yang tinggal di
tanah Jawa pun tidak semuanya orang pribumi Jawa. Banyak dari luar pulau yang
memutuskan untuk tinggal di tempat yang disinyalir lebih padat penduduknya.
Dari sini, data-data mengenai pertumbuhan pulau Jawa selama abad ke 19 didapat
dari sejarah sosial perkiraan-perkiraan yang termaktub di dalam beberapa buku.
T. S. Raffless, History of Java (1918, I:63) menyebutkan dari angka-angka
mengenai penduduk yang terbit dalam Koloniale Verslagen, yang setelah tahun
1860, para ahli demografi memperhitungkan bahwa penduduk dalam abad ke 19
dikaitkan dengan sistem heerendiesten (kerja paksa), dan penduduk yang tidak
terkena wajib kerja hampir tidak diperhatikan. Perhitungan didasarkan
kepemilikan harga rumah, dan tidak berdasarkan jumlah penduduk yang ada.
Pemindahan penduduk terhadap orang Jawa ke daerah Lampung di
Sumatra Selatan dimulai pada tahun 1905. Pada waktu itu, sebanyak 155 keluarga
Jawa diberangkatkan atas biaya pemerintah di mana mereka masing-masing mendapat
sebuah gubuk untuk tempat tingga, alat pertanian, serta uang untuk menghidupi
mereka. Sehingga pada tahun 1940 penduduk transmigran dari Jawab, Madura, dan
Bali sendiri sudah melebihi jumlah penduduk asli dari Lampung itu sendiri.
C. Bahasa Orang Jawa
Bahasa adalah media untuk meneruskan hasil pelajaran manusia
kepada sesamanya dan kepada generasi-generasi berikutnya, dengan kata lain
bahasa adalah alat komunikasi atau alat penghubung antar manusia. Komunikasi
antar manusia diadakan antara lain dengan menggunakan bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia.
Komunikasi antar manusia juga dapat menggunakan bentuk lain
yaitu dengan menggunakan lambang-lambang/ simbol-simbol baik yang berupa
kata/bahasa tulis seperti naskah atau surat, berupa isyarat misalnya bunyi
lonceng dan peluit, berupa gerak tubuh seperti simbol-simbol huruf morse dengan
bendera. Komunikasi dengan menggunakan bahasa adalah bersifat umum atau universal. Beberapa fungsi bahasa yang
dapat dilihat secara umum;
1.
Untuk
tujuan praktis; mengadakan antarhubungan dalam pergaulan manusia.
2.
Untuk
tujuan artistik; di mana manusia mengolah dan mempergunakan bahasa itu dengan
cara seindah-indahnya guna pemuasan rasa aestetis manusia, baik berupa cerita
/kisah/syair, gambar/lukisan, nada/musik, maupun pahatan-pahatan.
3.
Untuk
tujuan fisiologis; untuk mempelajari naskah-naskah kuno, untuk menyelidiki
latar belakang sejarah manusia, sejarah kebudayaan dan adat istiadat serta
perkembangan bahasa itu sendiri.
4.
Untuk
menjadi kunci dalam mempelajari penegtahuan-pengetahuan lainnya. (Drs, Goris
Keraf, 1 978:14).
Bahasa
pada suku bangsa relatif besar dengan jumlah beberapa juta penutur senantiasa
mengalami variasi-variasi yang disebabkan oleh adanya perbedaan wilayah
geografis dan adanya perbedaan lapisan serta lingkungan sosial. Di dalam bahasa
Jawa, misalnya; bahasa orang Jawa di Pekalongan, Tegal serta Yogyakarta jelas
memiliki logat yang berbeda.
Bahasa
Kesusasteraan dan Bahasa sehari-hari. Bahasa orang Jawa tergolong sub-keluarga
Hesperonesia dari keluarga bahasa Malayo-Polinesia (Murdock 1964: 222). Bahasa
Jawa telah dipelajari dengan seksama oleh sarjana-sarjana Inggris, Jerman, dan
terutama Belanda. Pada umumnya mereka menggunakan metode filologi dan bukan
metode linguistik. Ia memiliki suatu sejarah kesusastraan yang dapat
dikembalikan ke abad ke-8, dan selama itu bahasa tersebut telah berkembang
melalui beberapa fase yang dapat dibeda-bedakan atas dasar beberapa ciri
idiomatik yang khas dan beberapa lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda dari
tiap pujangganya (Pigeaud 1967-70: I, 11-14). Dengan demikian kecuali bahasa
Jawa kesusasteraan yang secara kronologi dapat dibagi ke dalam enam fase
seperti yang tersebut dibawah ini:
1.
Bahasa
Jawa Kuno; yang dipakai prasasti-prasasti keraton pada zaman antara abad ke-8
dan ke-10, dipahat pada batu atau diukir pada perunggu. Menggunakan karya-karya
kesusastraan kuno pada abad ke-10 hingga ke-14.
2.
Bahasa
Jawa Kuno yang dipergunakan dalam kesusastraan Jawa-Bali. Kesusastraan ini
ditulis di Bali dan di Lombok sejak abad ke-14. Kemudian semenjak Islam tiba di
Jawa Timur, kebudayaan Hindu-Jawa beralih ke Bali pada abad ke 16, dan bahasa
kesusastraan ini masih hidup sampai sekarang meskipun mendapat moodifikasi dari
Bali sendiri.
3.
Bahasa
Jawa Kuno yang dipergunakan dalam kesusastraan Islam di Jawa Timur.
Kesusastraan ini ditulis menggantikan
kesusastraan Hindu-Jawa di daerah aliran sungai Brantas dan hilir sungai
Bengawan Solo pada abad ke 16 dan 17.
4.
Bahasa
kesusastraan Jawa-Islam di daerah pesisir, kebudayaan yang berkembang di
pusat-pusat agama di kota-kota pantai utara pulau jawa pada abad ke 17 dan ke
18. Orang Jawa juga membedakan antara kebudayaan pesisir yang lebih muda
berpusat di pelabuhan kota Cirebon, dan suatu kebudayaan pesisir timur yang
lebih tua berpusat di kota Demak, Kudus, dan Gresik.
5.
Bahasa
kesusastraan kerajaan Mataram, bahasa ini dipakai dalam karya-karya karangan
pujangga keraton kerajaan Mataram pada abad ke 18 dan ke 19, yang terletak di
daerah aliran sungai Bengawan Solo ditengah komplek pegunungan
Merapi-Merbabu-Lawu di Jawa Tengah.
6.
Bahasa
Jawa masa kini, bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari dalam
masyarakat Jawa dan dalam buku-buku serta surat-surat kabar berbahasa Jawa abad
ini.
Sepanjang
sejarah kesusastraan Jawa, orang Jawa telah mengenal beberapa tulisan asli. Ada
suatu legenda yang menerangkan mengenai asal mula kebudayaan Jawa bermula dari
kisah Pangeran Ajisaka. Ditilik merupakan asal usul dari tulisan Jawa yang
terdiri dari duapuluh huruf, itu yakni;
“hanacarakadatasawalapadhajayanyamagabathanga.”
Menurut
para ahli epigrafi, tulisan Jawa berasal dari suatu bentuk tulisan Sanskerta
Dewanagari dari India Selatan yang terdapat pada prasasti-prasasti dari dinasti
Palawa yang ditemukan pada abad ke 4. Dengan demikian, tulisan tersebut dapat
dinamai tulisan Palawa. Namun, seiring bertambahnya waktu, huruf-huruf Palawa
yang berada di Jawa juga mengalami perubahan. Sehingga para pujangga Jawa Timur
pada abad ke 10 hingga abad ke 11 menggunakan bahasa Jawa ciptaan kakawin mereka sendiri.
Kesusastraan
Jawa ada juga yang ditulis dengan menggunakan tulisan pegon atau gundhil, yakni
tulisan Arab yang disesuaikan dengan keperluan bahasa Jawa. Penggunaan huruf
ini biasanya tidak untuk percakapan sehari-hari, lebih kepada pengajaran dalam
agama Islam.
Bahasa
Jawa digunakan dalam karya-karya kesusastraan zaman Kerajaan Mataram akhir abad
ke 19, terutama bahasa Jawa yang digunakan sebagai bahasa pergaulan pada abad
ke 20 dengan tingkatannya yang sangat rumit terdiri dari sembilan gaya bahasa.
Sistem ini menyangkut perbedaan-perbedaan yang wajib digunakan, mengingat
adanya perbedaan pangkat, umur, serta tingkat kekakraban antara si penyapa
dengan yang disapa.
Dalam
konsepsi orang Jawa, berbagai gaya ini menyebabkan adanya tingkat-tingkat
bahasa yang berbeda-beda tinggi rendahnya. Ada dua unsur menurut linguistik
yang membedakan tinggi-rendah bahasa, yakni;
1.
Perbedaan
morfologi yang disebabkan karena penggunaan awalan atau akhiran yang lain.
2.
Perbedaan
sintakis yang disebabkan karena penggunaan sinonim yang lain, partikel yang
lain, atau kata ganti orang yang lain, atau kata ganti petunjuk yang lain
Kecuali
ketiga gaya yang paling dasar dalam berbahasa Jawa, yakni; gaya tak resmi, gaya
setengah-resmi, dan gaya resmi (Ngoko,
Madya, Kromo), ada enam gaya lain yang terbentuk dari kombinasi tiga gaya
dasar tersebut. Dalam bahasa Jawa juga terdapat kira-kira 300 kata yang wajib
dipakai untuk membicarakan milik, bagian tubuh, tindakan atau sifat-sifat orang
kedua yang sederajat, atau orang ketiga yang lebih tinggi kedudukannya akan
disebut dengan krama inggil.
Adalagi
selain sembilan tingkatan bahasa tadi, masih terdapat Basa Kedhaton atau Bagongan,
yang sangat berbeda dari bahasa-bahasa lain. Bahasa ini pada umumnya hanya
digunakan oleh pembicaraan-pembicaraan resmi dalam kraton di Surakarta maupun
Yogyakarta.
Di
dalam Jawa pun terdapat adat-istiadatnya tersendiri dalam menuntut penggunaan
gaya bahasa yang tepat, tergantung sedang dalam interaksi mana orang tersebut
berbicara. Memaksa orang terlebih dahulu untuk
menentukan setepat mungkin kedudukan orang yang diajak berbicara dalam
hubungan dengan kedudukannya sendiri.
Di
bagian barat daerah kebudayaan Jawa terdapat aliran sungai Serayu yang berasal
dari kompleks pegunungan Dieng-Sundoro-Sumbing yang mengalir berkelok-kelok ke
arah barat daya sebelum akhirnya bermuaar ke Samudra Hindia di sebelah selatan
Pulau Jawa. Orang-orang Jawa yang tinggal disekitar daerah ini mengucapkan
suatu logat Banyumas yang khas, dalam logat di mana vokal bawah belakang dalam
bahasa Jawa umum diucapkan sebagai vokal bawah tenagh, yang seringkali diakhiri
dengan pita suara tutup pada akhir kata.
Di
daerah aliran Sungai Opak dan Praga, serta hulu di Sungai Bengawana Solo,
ditengah-tengah kompleks gunung berapi Merapi-Merbabu-Lawu menggunakan logat
Jawa Tengah Solo-Yogya. Daerah ini juga yang merupakan daerah pusat kebudayaan
Jawa-Kraton, yang dianggap sebagai daerah dari sumber nilai-nilai dan
norma-norma Jawa. Serta logat Solo-Yogya yang dianggap sebagai “bahasa Jawa
yang beradab”.
Di
sebelah utara daerah ini terdapat logat Jawa Pesisir yang digunakan oleh
masyarakat pantai utara. Sedangkan bagian barat daerah sub-kebudayaan Pesisir
sangat dipengaruhi kebudayaan dan bahasa Sunda, yang nampak pada logat cirebin,
Indramayu, Tegal, dan daerah sekitarnya.
Sebelah
timur daerah sub-kebudayaan Jawa Tengah adalah Sungai Brantas, daerah sekitar
kota Madiun dan Kediri di bagian baratnya, dan kota Malang, Lumajang, dan
Jember di bagian timurnya masih cenderung memiliki logat Solo-Yogya, kecuali
yang melewati delta Sungai Brantas, khususnya Surabaya memiliki logat lain yang
khas pula.
Bahasa
Jawa yang dipakai di daerah pantai Jawa Timur sangat terpengaruh bahasa Madura
yang sama sekali berbeda dengan bahasa Jawa, sedangkan di ujung timur
seperti Banyuwangi, dan Blambangan,
banyak dipengaruhi oleh bahasa Bali.
Simpulan
Pulau Jawa memiliki tingkat penduduk yang sangat besar,
namun kepadatan penduduk pada pulau Jawa mempuyai jenis bahasa yang
berbeda-beda. Berbeda dengan tulisan Palawa Jawa yang cenderung baku dan
disamakan tiap daerah. Sayangnya, tulisan Palawa kini sudah mulai jarang
digunakan ole masyarakat. Kendati pun mereka menulis dengan menggunakan bahasa
Jawa, mereka sudah menyalinnya menjadi huruf Latin.
Daftar Pustaka
Herususanto,
Budiono. 2008. Simbolis Jawa.
Yogyakarta: Ombak.
Ihromi. 1984. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Koentjaraningrat. 1994. Kehidupan
Jawa (Seri Etnografi). 1994: Balai Pustaka.
Stockdale, John Joseph. 2010. Eksotisme Jawa; Ragam Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Jawa.
Yogyakarta: Progresif Book.
Sholikin, Muhammad. 2010. Ritual dan Tradisi Orang Jawa.Yogyakarta : PT Suka Buku.
Zuhdi, M. Najmuddin, dkk. 2008. 125 Masalah dalam Puasa. Solo: PT Tiga Serangkai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar