Minggu, 15 Mei 2016

Mengenal Lebih Awal Budaya Wong Jawa



Mengenal Lebih Awal Budaya Wong Jawa

Dalam suatu masyarakat, dapat dilihat bahwa para warganya walaupun mempunyai sifat-sifat individual yang berbeda, tetapi mereka akan memberi reaksi yang sama pada gejala-gejala tertentu. Sebab dari reaksi yang sama itu karena mereka memiliki sikap-sikap umum yang sama, nilai-nilai yang sama dan perilaku yang sama. Hal-hal yang dimiliki bersama itulah yang dalam antropologi budaya dinamakan  kebudayaan. Dalam setiap masyarakat, disamping terdapat pola-pola budaya yang nyata-nyata merupakan kebiasaan, juga terdapat pola-pola budaya ideal, yaitu hal-hal yang menurut warga masyarakat harus dilakukan, atau norma-norma. (Ihromi:13)
Dilihat dari berbagai tujuan dan sudut pandang tentang kebudayaan, menunjukkan bahwa kebudayaan itu merupakan suatu persoalan yang sangat luas, namun esensinya adalah bahwa kebudayaan itu melekat dengan diri manusia. Artinya manusialah pencipta kebudayaan itu. Kebudayaan merupakan kelahiran dari manusia itu sendiri. Sehingga kebudayaan dapaat dilihat dari dua sisi, yaitu kebudayaan sebagai suatu proses dan kebudayaan sebagai  suatu produk.
Sedangkan tradisi adalah kumpulan kebiasaan tentang batas kelompok dan tentang pandang dunia, yang biasanya diteruskan kepada orang-orang muda dari suatu masyarakat dalam mempersiapkan mereka akan partisipasi penuh sebagai orang-orang dewasa dalam budaya itu. Transmisi ini berlangsung melalui ritus-ritus inisiasi pada pubertas, melalui sistem-sistem pendidikan, dan melalui pergaulan dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi menyediakan perbendaharaan yang nyata ini, yang dapat diacu guna mempertahankan jati diri bila diancam, dan untuk menegaskannya bila perlu. Karena jati diri bukanlah sesuatu yang sifatnya tampak secara alamiah.

A.  Daerah Asal Kebudayaan Jawa
Kebanyakan orang Jawa hanya mendiami bagian tengah dan timur dari seluruh Pulau Jawa; sebelah baratnya (yang hampir merupakan Dataran Tinggi Priangan), seperti yang kita ketahui, adalah daerah Sunda. Batas dari daerah Jawa dan Sunda sulit ditentukan secara tepat, tetapi garis batas itu dapat digambarkan di antara Sungai Citandui dan Sungai Cijulang di sebelah selaatan, serta kota Indramayu yang berada di sebelah utara. Seperti halnya orang Jawa, Orang Sunda merupakan suku-bangsa dengan penduduk yang besar (merupakan nomor dua terbesar di Indonesia, dengan jumlah penduduk sebesar 20 juta pada tahun 1971).
Hampir seluruh Pulau Jawa memang padat penduduknya, bahkan Pulau Madura yang gersang di sebelah timur-laut Pulau Jawa juga memiliki angka nyawa yang banyak, sekitar dua juta jiwa pada tahun yang sama. Pulau jawa yang luasnya hanya 7% dari seluruh Kepulauan Indonesia bahkan dihuni oleh lebih dari 60% dari keseluruhan penduduk yang ada di Indonesia; yang mana merupakan daerah asal kebudayaan Jawa.
Bukit-bukit kapur pada umumnya berbentuk rata, dengan ketinggian yang tidak mencolok, terdapat di sekitar pantai utara Jawa Timur dan pantai selatan. Di kaki-kaki gunung berapi dekat pantai utara selatan dan pantai utara di sebelah timur Pulau Jawa. Di banyak tempat di pantai selatan, pegunungan tersebut merupakan tebing-tebing yang curam.
Dari lereng-lereng gunung dan bukit mengalir sungai-sungai yang membawa batu-batu muntahan gunung-gunung berapi ke lembah-lembah yang luas di tepi sungai-sungai besar. Lembah yang terdiri dari tanah pasir dan batu kerikil halus itu mengandung kesuburan yang tinggi untuk pertanian, dengan suatu kapasitas kandungan air yang tinggi pula. Sungai Brantas di Jawa Timur, membawa bahan-bahan vulkanis yang subur ke daerah-daerah selatan yang rendah, yang diendapkan di sepanjang pantai selatan Jawa Tengah dan sepanjang pantai utara Jawa Timur.
karena letaknya di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia, maka Kepulauan Indonesia pada umumnya, khususnya Kepulauan Jawa memiliki iklim yang dipengaruhi oleh angin musim, yang dalam satu musim berembus dari Benua Hindia, dan musim lainnya dari Benua Australia yang kering. Selama bulan-bulan Desember hingga Mei, akibat musim, di daerah barat-daya turun hujan lebat, dan selama bulan-bulan Juni hingga November, akibat musim, di tenggara terjadi musim kering. Curah hujan yang terlampau besar disebabkan karena penguapan yang sangat besar, menyebabkan cepat kurusnya tanah.  Oleh karena itu di daerah pegunungan curah hujan juga lebih besar daripada di dataran rendah, begitu juga sisi-sisi lereng-lereng gunung yang mendapat embusan angin. Lereng-lereng gunung yang berada pada sisi-sisi yang berlawanan mempunyai ciurah hujan yang tinggi. Suhu Pulau Jawa pada umumnya konstan, dengan perbedaan kecil dari hari ke hari, yaitu 80˚ di dataran rendah di daerah pantai, dan 60˚ di daerah pedalaman pegunungan. Pulau Jawa memiliki panjang lebih dari 1.200 km dengan lebar 500 km bila diukur dari ujung-ujungnya yang terjauh. Pulau Jawa terletak di tepi sebelah selatan Kepulauan Indonesia, kurang lebih tujuh derajat di sebelah selatan garis khatulistiwa. Pulau Jawa sendiri hanya merupakan tujuh persen dari total Kepulauan Indonesia.
Sepanjang daerah Pulau Jawa melintang gunung berapi, baik yang masih bekerja maupun tidak, antara 1.500 hingga 3.500 meter di atas permukaan laut. Gunung-gunung berapi dengan celah-celah yang mengeluarkan gas-gas dan asap, senantiasa memuntahkan lava dan abu. Kecuali gunung-gunung berapi utama ini, ada gunung-gunung dan bukit-bukit yang lebih kecil yang terpencar letaknya, yang ada kalanya berasal dari gunung-gunung berapi utama.


B.  Jumlah Penduduk Jawa
Sudah diketahui bahwasanya Pulau Jawa memiliki penduduk yang tingkat kepadatannya jauh lebih besar daripada pulau Nusantara yang lain, dan sejak pertengahan abad ke 19 migrasi pun menjadi hal yang spontan dan lumrah maupun dipaksakan terhadap orang-orang Jawa ke pulau lain. Sejak tahun 1870 petani Jawa dikontrak untuk bekerja di perkebunan tembakaua atau tambang timah di Sumatra Utara dan Sumatra Timur. Hal ini bukan lagi asing bagi penduduk Jawa mengingat pada zaman-zaman sebelumnya mereka sudah dipaksa untuk bekerja di daerah jajahan-jajahan Belanda seperti Tanjung Harapan Afrika.
Laju pertumbuhan di Pulau Jawa sangat tinggi tanpa mengetahui jumlah pasti dari angka tersebut. Dari penduduk yang tinggal di tanah Jawa pun tidak semuanya orang pribumi Jawa. Banyak dari luar pulau yang memutuskan untuk tinggal di tempat yang disinyalir lebih padat penduduknya. Dari sini, data-data mengenai pertumbuhan pulau Jawa selama abad ke 19 didapat dari sejarah sosial perkiraan-perkiraan yang termaktub di dalam beberapa buku. T. S. Raffless, History of Java (1918, I:63) menyebutkan dari angka-angka mengenai penduduk yang terbit dalam Koloniale Verslagen, yang setelah tahun 1860, para ahli demografi memperhitungkan bahwa penduduk dalam abad ke 19 dikaitkan dengan sistem heerendiesten (kerja paksa), dan penduduk yang tidak terkena wajib kerja hampir tidak diperhatikan. Perhitungan didasarkan kepemilikan harga rumah, dan tidak berdasarkan jumlah penduduk yang ada.
Pemindahan penduduk terhadap orang Jawa ke daerah Lampung di Sumatra Selatan dimulai pada tahun 1905. Pada waktu itu, sebanyak 155 keluarga Jawa diberangkatkan atas biaya pemerintah di mana mereka masing-masing mendapat sebuah gubuk untuk tempat tingga, alat pertanian, serta uang untuk menghidupi mereka. Sehingga pada tahun 1940 penduduk transmigran dari Jawab, Madura, dan Bali sendiri sudah melebihi jumlah penduduk asli dari Lampung itu sendiri.

C. Bahasa Orang Jawa
Bahasa adalah media untuk meneruskan hasil pelajaran manusia kepada sesamanya dan kepada generasi-generasi berikutnya, dengan kata lain bahasa adalah alat komunikasi atau alat penghubung antar manusia. Komunikasi antar manusia diadakan antara lain dengan menggunakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Komunikasi antar manusia juga dapat menggunakan bentuk lain yaitu dengan menggunakan lambang-lambang/ simbol-simbol baik yang berupa kata/bahasa tulis seperti naskah atau surat, berupa isyarat misalnya bunyi lonceng dan peluit, berupa gerak tubuh seperti simbol-simbol huruf morse dengan bendera. Komunikasi dengan menggunakan bahasa adalah bersifat umum atau universal. Beberapa fungsi bahasa yang dapat dilihat secara umum;
1.      Untuk tujuan praktis; mengadakan antarhubungan dalam pergaulan manusia.
2.      Untuk tujuan artistik; di mana manusia mengolah dan mempergunakan bahasa itu dengan cara seindah-indahnya guna pemuasan rasa aestetis manusia, baik berupa cerita /kisah/syair, gambar/lukisan, nada/musik, maupun pahatan-pahatan.
3.      Untuk tujuan fisiologis; untuk mempelajari naskah-naskah kuno, untuk menyelidiki latar belakang sejarah manusia, sejarah kebudayaan dan adat istiadat serta perkembangan bahasa itu sendiri.
4.      Untuk menjadi kunci dalam mempelajari penegtahuan-pengetahuan lainnya. (Drs, Goris Keraf, 1 978:14).
Bahasa pada suku bangsa relatif besar dengan jumlah beberapa juta penutur senantiasa mengalami variasi-variasi yang disebabkan oleh adanya perbedaan wilayah geografis dan adanya perbedaan lapisan serta lingkungan sosial. Di dalam bahasa Jawa, misalnya; bahasa orang Jawa di Pekalongan, Tegal serta Yogyakarta jelas memiliki logat yang berbeda.
Bahasa Kesusasteraan dan Bahasa sehari-hari. Bahasa orang Jawa tergolong sub-keluarga Hesperonesia dari keluarga bahasa Malayo-Polinesia (Murdock 1964: 222). Bahasa Jawa telah dipelajari dengan seksama oleh sarjana-sarjana Inggris, Jerman, dan terutama Belanda. Pada umumnya mereka menggunakan metode filologi dan bukan metode linguistik. Ia memiliki suatu sejarah kesusastraan yang dapat dikembalikan ke abad ke-8, dan selama itu bahasa tersebut telah berkembang melalui beberapa fase yang dapat dibeda-bedakan atas dasar beberapa ciri idiomatik yang khas dan beberapa lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda dari tiap pujangganya (Pigeaud 1967-70: I, 11-14). Dengan demikian kecuali bahasa Jawa kesusasteraan yang secara kronologi dapat dibagi ke dalam enam fase seperti yang tersebut dibawah ini:
1.      Bahasa Jawa Kuno; yang dipakai prasasti-prasasti keraton pada zaman antara abad ke-8 dan ke-10, dipahat pada batu atau diukir pada perunggu. Menggunakan karya-karya kesusastraan kuno pada abad ke-10 hingga ke-14.
2.      Bahasa Jawa Kuno yang dipergunakan dalam kesusastraan Jawa-Bali. Kesusastraan ini ditulis di Bali dan di Lombok sejak abad ke-14. Kemudian semenjak Islam tiba di Jawa Timur, kebudayaan Hindu-Jawa beralih ke Bali pada abad ke 16, dan bahasa kesusastraan ini masih hidup sampai sekarang meskipun mendapat moodifikasi dari Bali sendiri.
3.      Bahasa Jawa Kuno yang dipergunakan dalam kesusastraan Islam di Jawa Timur. Kesusastraan ini  ditulis menggantikan kesusastraan Hindu-Jawa di daerah aliran sungai Brantas dan hilir sungai Bengawan Solo pada abad ke 16 dan 17.
4.      Bahasa kesusastraan Jawa-Islam di daerah pesisir, kebudayaan yang berkembang di pusat-pusat agama di kota-kota pantai utara pulau jawa pada abad ke 17 dan ke 18. Orang Jawa juga membedakan antara kebudayaan pesisir yang lebih muda berpusat di pelabuhan kota Cirebon, dan suatu kebudayaan pesisir timur yang lebih tua berpusat di kota Demak, Kudus, dan Gresik.
5.      Bahasa kesusastraan kerajaan Mataram, bahasa ini dipakai dalam karya-karya karangan pujangga keraton kerajaan Mataram pada abad ke 18 dan ke 19, yang terletak di daerah aliran sungai Bengawan Solo ditengah komplek pegunungan Merapi-Merbabu-Lawu di Jawa Tengah.
6.      Bahasa Jawa masa kini, bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari dalam masyarakat Jawa dan dalam buku-buku serta surat-surat kabar berbahasa Jawa abad ini.
Sepanjang sejarah kesusastraan Jawa, orang Jawa telah mengenal beberapa tulisan asli. Ada suatu legenda yang menerangkan mengenai asal mula kebudayaan Jawa bermula dari kisah Pangeran Ajisaka. Ditilik merupakan asal usul dari tulisan Jawa yang terdiri dari duapuluh huruf, itu yakni; “hanacarakadatasawalapadhajayanyamagabathanga.”
Menurut para ahli epigrafi, tulisan Jawa berasal dari suatu bentuk tulisan Sanskerta Dewanagari dari India Selatan yang terdapat pada prasasti-prasasti dari dinasti Palawa yang ditemukan pada abad ke 4. Dengan demikian, tulisan tersebut dapat dinamai tulisan Palawa. Namun, seiring bertambahnya waktu, huruf-huruf Palawa yang berada di Jawa juga mengalami perubahan. Sehingga para pujangga Jawa Timur pada abad ke 10 hingga abad ke 11 menggunakan bahasa Jawa ciptaan kakawin mereka sendiri.
Kesusastraan Jawa ada juga yang ditulis dengan menggunakan tulisan pegon atau gundhil, yakni tulisan Arab yang disesuaikan dengan keperluan bahasa Jawa. Penggunaan huruf ini biasanya tidak untuk percakapan sehari-hari, lebih kepada pengajaran dalam agama Islam.
Bahasa Jawa digunakan dalam karya-karya kesusastraan zaman Kerajaan Mataram akhir abad ke 19, terutama bahasa Jawa yang digunakan sebagai bahasa pergaulan pada abad ke 20 dengan tingkatannya yang sangat rumit terdiri dari sembilan gaya bahasa. Sistem ini menyangkut perbedaan-perbedaan yang wajib digunakan, mengingat adanya perbedaan pangkat, umur, serta tingkat kekakraban antara si penyapa dengan yang disapa.
Dalam konsepsi orang Jawa, berbagai gaya ini menyebabkan adanya tingkat-tingkat bahasa yang berbeda-beda tinggi rendahnya. Ada dua unsur menurut linguistik yang membedakan tinggi-rendah bahasa, yakni;
1.      Perbedaan morfologi yang disebabkan karena penggunaan awalan atau akhiran yang lain.
2.      Perbedaan sintakis yang disebabkan karena penggunaan sinonim yang lain, partikel yang lain, atau kata ganti orang yang lain, atau kata ganti petunjuk yang lain
Kecuali ketiga gaya yang paling dasar dalam berbahasa Jawa, yakni; gaya tak resmi, gaya setengah-resmi, dan gaya resmi (Ngoko, Madya, Kromo), ada enam gaya lain yang terbentuk dari kombinasi tiga gaya dasar tersebut. Dalam bahasa Jawa juga terdapat kira-kira 300 kata yang wajib dipakai untuk membicarakan milik, bagian tubuh, tindakan atau sifat-sifat orang kedua yang sederajat, atau orang ketiga yang lebih tinggi kedudukannya akan disebut dengan krama inggil.
Adalagi selain sembilan tingkatan bahasa tadi, masih terdapat Basa Kedhaton atau Bagongan, yang sangat berbeda dari bahasa-bahasa lain. Bahasa ini pada umumnya hanya digunakan oleh pembicaraan-pembicaraan resmi dalam kraton di Surakarta maupun Yogyakarta.
Di dalam Jawa pun terdapat adat-istiadatnya tersendiri dalam menuntut penggunaan gaya bahasa yang tepat, tergantung sedang dalam interaksi mana orang tersebut berbicara. Memaksa orang terlebih dahulu untuk  menentukan setepat mungkin kedudukan orang yang diajak berbicara dalam hubungan dengan kedudukannya sendiri.
Di bagian barat daerah kebudayaan Jawa terdapat aliran sungai Serayu yang berasal dari kompleks pegunungan Dieng-Sundoro-Sumbing yang mengalir berkelok-kelok ke arah barat daya sebelum akhirnya bermuaar ke Samudra Hindia di sebelah selatan Pulau Jawa. Orang-orang Jawa yang tinggal disekitar daerah ini mengucapkan suatu logat Banyumas yang khas, dalam logat di mana vokal bawah belakang dalam bahasa Jawa umum diucapkan sebagai vokal bawah tenagh, yang seringkali diakhiri dengan pita suara tutup pada akhir kata.
Di daerah aliran Sungai Opak dan Praga, serta hulu di Sungai Bengawana Solo, ditengah-tengah kompleks gunung berapi Merapi-Merbabu-Lawu menggunakan logat Jawa Tengah Solo-Yogya. Daerah ini juga yang merupakan daerah pusat kebudayaan Jawa-Kraton, yang dianggap sebagai daerah dari sumber nilai-nilai dan norma-norma Jawa. Serta logat Solo-Yogya yang dianggap sebagai “bahasa Jawa yang beradab”.
Di sebelah utara daerah ini terdapat logat Jawa Pesisir yang digunakan oleh masyarakat pantai utara. Sedangkan bagian barat daerah sub-kebudayaan Pesisir sangat dipengaruhi kebudayaan dan bahasa Sunda, yang nampak pada logat cirebin, Indramayu, Tegal, dan daerah sekitarnya.
Sebelah timur daerah sub-kebudayaan Jawa Tengah adalah Sungai Brantas, daerah sekitar kota Madiun dan Kediri di bagian baratnya, dan kota Malang, Lumajang, dan Jember di bagian timurnya masih cenderung memiliki logat Solo-Yogya, kecuali yang melewati delta Sungai Brantas, khususnya Surabaya memiliki logat lain yang khas pula.
Bahasa Jawa yang dipakai di daerah pantai Jawa Timur sangat terpengaruh bahasa Madura yang sama sekali berbeda dengan bahasa Jawa, sedangkan di ujung timur seperti  Banyuwangi, dan Blambangan, banyak dipengaruhi oleh bahasa Bali.

Simpulan
Pulau Jawa memiliki tingkat penduduk yang sangat besar, namun kepadatan penduduk pada pulau Jawa mempuyai jenis bahasa yang berbeda-beda. Berbeda dengan tulisan Palawa Jawa yang cenderung baku dan disamakan tiap daerah. Sayangnya, tulisan Palawa kini sudah mulai jarang digunakan ole masyarakat. Kendati pun mereka menulis dengan menggunakan bahasa Jawa, mereka sudah menyalinnya menjadi huruf Latin.

Daftar Pustaka
Herususanto, Budiono. 2008. Simbolis Jawa. Yogyakarta: Ombak.
Ihromi. 1984. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Koentjaraningrat. 1994. Kehidupan Jawa (Seri Etnografi). 1994: Balai Pustaka.
Stockdale, John Joseph. 2010. Eksotisme Jawa; Ragam Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Progresif Book.
Sholikin, Muhammad. 2010. Ritual dan Tradisi Orang Jawa.Yogyakarta : PT Suka Buku.
Zuhdi, M. Najmuddin, dkk. 2008. 125 Masalah dalam Puasa. Solo: PT Tiga Serangkai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar