Minggu, 15 Mei 2016

Sikap Hidup Orang Jawa



Sikap Hidup Orang Jawa

Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa dengan masyarakatnya yang pluralistic mempunyai berbagai macam, bentuk, dan variasi dari kesenian budaya. Kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh peradaban budayanya. Suku bangsa  Jawa memiliki pengetahuan yang menjadi dasar pemikiran dan sejarah kebudayaanya yang khas, dimana dalam epistemology dan kebudayaanya digunakan simbol-simbol  atau lambang-lambang sebagai sarana atau media untuk menitipkan pesan-pesan atau nasehat-nasehat bagi bangsanya. Dari data sejarah  jawa memang menunjukan tentang penggunaan simbol-simbol itu dalam tindakan, bahasa dan religi Jawa, yang telah digunakannya sejak zaman prasejarah.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa baru yang terdiri dari berbagai suku bangsa, yang semua pada dasarnya adalah pribumi, artinya, semua adalah suku-suku bangsa yang mesikpun dahulu kala bermigrasi dari tempat lain, secara turun temurun telah tinggal diwilayah geografis Indonesia sekarang ini, dan merasa bahwa itu adalah tanah airnya. Bangsa baru ini terbentuk karena suatu kemauan politik untuk menyatukan diri, dan dengan itu membangun sebuah Negara serta membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan oleh bangsa lain. Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia Indonesia hingga dewasa ini secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai tumpukan pengalaman budaya dan pembangunan budaya yang terdiri dari lapisan-lapisan budaya yang terbentuk sepanjang sejarahnya (Edi Setyawati, 2006 ; 315, 317).
Dengan membandingkan kebudayaan Jawa di daerah pedesaan dan kebudayaan Jawa di perkotaan, tetapi didasarkan pada perbedaan antara agama Islam Jawa yang sinkretis, yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu dan Islam, dan agama Islam yang puritan, atau mengikuti ajaran agama secara lebih taat. Walaupun ada perbedaan-perbedaan antara kehidupan beragama para pegawai di kota-kota, suatu deskripsi yang bertolak dari kedua varian dalam agama Islam di Jawa itu akan lebih jelas (Koentjaraningrat, 1994 ; 310).
Kebudayaan Hindu-Budha di daerah-daerah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur selama paling sedikit dua abad telah menghalangi masuknya agama Islam, yaitu ketika kemakmuran dan kekuatan kota-kota pantai dari daerah pesisir menurun karena munculnya perdagangan dan kemudian kekuasaan orang-orang Eropa di Nusantara ini (Koentjaraningrat, 1994 ; 310).
Pandangan hidup orang jawa atau filsafat Jawa yang berupa rangkuman dari alam pikir Jawa tradisional, kepercayaan Hindu atau filsafat India dan ajaran tasawuf/mistikisme Islam. Pandangan hidup tersebut telah banyak dituangkan ke dalam karya-karya sastra pujangga Baru pada Zaman Surakarta, baik dalam bentuk prosa atau puisi/tembang Jawa (Budiono Herusatoto, 2008 ; 114).

Sikap dan tingkah laku masyarakat orang Jawa
Budaya iku dadi kaca benggalaning bangsa (kebudayaan itu menjadi cermin besar yang menggambarkan peradaban suatu bangsa), demikian kata pepatah jawa . setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kabudayaan (kebudayaan) sendiri yang berbeda dengan kebudayaan bangsa atau suku bangsa lainnya membuktikan bahwa peradaban suatu bangsa atau suku bangsa yang bersangkutan memiliki pengetahuan, dasar-dasaar pemikiran dan sejarah peradaban yang tidak sama antara satu dengan lainnya.
Fenomena kehidupan orang Jawa yang menunjukan simbolisme itu tampak dalam tata kehidupan kesehariannya baik dalam penggunaan bahasanya, sastra, seni, dan langkah tindakan-tindakannya, baik dalam pergaulan sosial maupun dalam upacara-upacara spiritual dan religinya yang selalu menggunakan simbol-simbol untuk mengungkapkan rasa etis, estetis, spiritual dan religi untuk menuangkan citra budayanya ( Budiono Herusatoto, 2008 ; 1, 2 ).
Pembicaraan  tentang  Jawa, kejawen, merupakan  pembicaraan yang  tiada  putus bagi orang Jawa. Kejawen memiliki kedekatan  arti  dengan  kultur  Jawa, yang berarti juga melingkupi bagaimana seorang Jawa itu bertingkah polah menjalani hidup Sebagai  sebuah  kultur, kejawen  juga  melingkupi  pola pikir  serta sikap  dan  pola  kehidupan.  Misalnya, dengan  menerapkan  pola  pikir  seperti andhap  asor  (santun),  menghormati  orang lain,  serta  tidak  bersikap  egois, kasar atau arogan,  yang  tidak  menunjukkan sikap  hidup  orang Jawa. Berikut beberapa contoh sikap dan norma yang telah mengalami perubahan yang terjadi pada masyarakat jawa sekarang pada umumnya :

  1. Cara Menghormati Orang yang Lebih Tua Melalui Tutur Kata
Bahasa adalah sistem lambang berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang arbiter yang  dipakai  oleh  anggota-anggota  masyarakat  untuk  saling  berhubungan  dan berinteraksi.  Sebagai  suatu  sistem,  bahasa  itu  mempunyai  aturan-aturan  yang  saling bergantung dan mengandung struktur unsur-unsur untuk dianalisis secara  terpisah-pisah. Orang berbahasa mengeluarkan bunyi-bunyi berurutan membentuk suatu struktur tertentu (Hengki Sudarmawan, 2004 ; 18 ).
Tingkat  tutur  ngoko mencerminkan  rasa  tak  berjarak  antara  penutur  terhadap mitra  tutur, artinya penutur tidak memiliki  rasa  segan  terhadap mitra tutur. Sedangkan  tingkat tutur krama yaitu tingkat tutur yang mengungkapkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini menandakan  adanya  perasaan  segan  ‘pakewuh’  penutur  terhadap  lawan  tutur,  karena lawan  tutur adalah orang yang belum dikenal, atau berpangkat atau priyayi, berwibawa, dan  lain-lain. Pemakaian  tingkat  tutur krama  mencerminkan perhormatan penutur  terhadap mitra  tutur. Pemakaian  tingkat  tutur krama biasanya digunakan oleh status sosial rendah terhadap status sosial lebih tinggi, misalnya terjadi  antara  pembantu  dengan  majikannya,  abdi  dalem  dengan  trah  praja,  pegawai dengan atasannya, pemuda dengan orang yang lebih tua atau disegani dan sebagainya. (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979  : 14 ).

2.       Berpamitan kepada Orang Tua dengan Mencium Tangan
Ketika kita waktu kecil, pasti sudah diajarkan bagaimana cara menghormati orang tua selain dengan sikap dan sopan santun kita terhadap orang tua, termasuk bagaimana menghormati orang tua dengan mencium tangan mereka.
Mencium tangan orang tua mungkin adalah hal yang lazim kita lakukan sehari-hari. Ketika kita ingin bepergian atau berpamitan untuk keluar rumah biasanya kita meminta ijin dengan mencium tangan mereka. Selain itu mencium tangan orang tua juga bisa diartikan dengan pemberian rasa hormat kita sebagai seorang anak kepada orang tua. Mencium tangan orang tua mungkin memang hanya diajarkan oleh agama islam, dimana mencium tangan orang tua merupakan sunah dan Nabi Muhammad SAW mengajarkan kita untuk hal itu.
Pada saat ini sangat jarang hal tersebut dilakukan, karena kondisi orang tua dan anak yang sama-sama kurang mempunyai kesadaran. Orang tua yang gila dengan pekerjaan tak pernah berfikir hingga sedemikian rupa. Beliau hanya berfikir bahwa materi dapat memberikan kasih sayang yang lebih terhadap anaknya. Sehingga anak pada jaman sekarang banyak yang tumbuh tidak sesuai dengan norma yang berlaku, terutama pada sikap anak jaman sekarang cenderung individualis. Akan tetapi saat ini telah banyak diperlihatkan bahwa kebudayaan yang ada kini kita berkiblat menggunakan kebiasaan orang barat dengan menggunakan cara berpamitan dengan orang tua ketika akan keluar rumah mencium pipi kedua orang tua mereka.
Suku Jawa umumnya mereka memiliki sifat lebih suka menyembunyikan perasaan. Menampik tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang dijaga. Misalnya saat bertamu dan bertemu dengan orang-orang yang dianggap lebih tua. Karakter khas seorang yang bersuku Jawa adalah bersalaman sembari mencium telapak tangan orang yang dikunjungi dan dirasa lebih tua sehingga patut dihormati, bahkan terkadang sikap sungkan mampu melawan kehendak atau keinginan hati. Suku Jawa memang sangat menjunjung tinggi etika. Sehingga sikap yang ditunjukkan orang yang lebih muda hendaknya betul-betul mampu menjaga sikap etika yang baik terhadap orang yang usianya lebih tua dari dirinya, dalam bahasa jawa Ngajeni. sikap hidup orang Jawa yang menejunjung tinggi nilai-nilai positif dalam kehidupan. Dalam interaksi antar personal di masyarakat, mereka selalu saling menjaga segala kata dan perbuatan untuk tidak menyakiti hati orang lain.
Namun pada masyarakat jawa saat ini sikap ramah dan sopan terhadap orang yang lebih tua memang masih ada namun hanya dilakukan dengan berjabat tangan saja tanpa mencium telapak tangan hal tersebut sudah jarang dilakukan karena beberapa faktor salah satunya memang tidak semua orang melakukan kebiasaan cium tangan kepada orang tua atau kepada guru mereka. Hal ini disebabkan karena memang sejak kecil mereka tidak dibiasakan untuk mencium tangan sebagai tanda hormat. Seperti hal nya orang yang beragama non muslim. Mereka tidak diajarkan bagaiman tata cara mencium tangan kedua orang tua, dan lain hal nya dengan yang beragama muslim yang memang sudah diajarkan untuk membiasakan diri mencium tangan orang tua atau orang yang lebih tua dari mereka dan juga hal ini memang merupakan sunah.

3.      Gotong royong
Salah satu kegiatan yang menjadi kunci dalam kondisi sosial dan politik dan budaya di Indonesia.  Hal itu kita kenal dengan gotong royong, suatu frase yang berasal dari bahasa Jawa yaitu ngotong yang dalam bahasa Sunda berarti membawa sesuatu secara bersama-sama dan royong.  Gotong royong merupakan sebuah penggambaran kehidupan sosial masyarakat Indonesia, diawali dari masyarakat pedesaan di Jawa sebagai bentuk hubungan sosial yang membawa masyarakat dalam sistem timbal balik dan digerakkan oleh etos umum yang ada dalam masyarakat dan kepedulian terhadap kepentingan bersama.
Gotong Royong menggambarkan perilaku-perilaku masyarakat pertanian desa yang bekerja untuk yang lainnya tanpa menerima upah, dan lebih luas, sebagai suatu tradisi yang mengakar, meliputi aspek-aspek dominan lain dalam kehidupan sosial.  Gotong royong dapat diartikan sebagai aktivitas sosial, namun yang paling penting dalam memaknainya adalah menjadikannya filosofi dalam hidup yang menjadikan kehidupan bersama sebagai aspek yang paling penting. Gotong royong menjadi bagian dari budaya Indonesia dalam generalisasi mengenai bentuk-bentuk sosial semacam ini menimbulkan pertanyaan antara sifat alamiah timbal balik dan pekerja untuk kepentingan bersama di wilayah pedesaan.

4.      Saling Memberi
Didalam masyarakat jawa telah diajarkan sebuah sikap saling mengasihi antar sesama. Saling mengasihi tercemin dalam sikap masyarakat jawa disaat melihat orang yang membutuhkan bantuan kita. Misalnya pengemis. Pengemis merupakan seseorang yang tidak mampu dan saat kita mnegetahuinya kita wajib membantu. Sehingga orang tua dahulu selalu memberikan pengertian dan mendidik anaknya untuk selalu meberika perhatian lebih terhadap pengemis. Pengemis pada dasarnya merupakan seorang yang tidak mampu menjalani hidupnya dengan alasan tertentu, sehingga ia tidak dapat melakukan hal lain selain mengemis untuk dapat memenuhi kebutuhanya. Sehingga disaat kita menemukan seorang pengemis dalam agama kita masing – masing sangat dianjurkan untuk saling memberi.

5.      Mempersilakan Masuk Tamu
Budaya jawa yang berkembang kepada masyarakat cukup banyak, dalam perkembanganya budaya tersebut ada yang masih tetap untuh namun terdapat beberapa budaya yang hilang ataupun punah. Salah satu budaya masyarakat jawa yang hamper punah adalah cara masyarakat jawa dalam menghargai tamu. Dalam menghargai tamu masyrakat jawa melakukan beberapa hal selain menyiapkan suguhan dalam menerima tamu masyarakat jawa biasanya mengacungkan jempol tangan sebagai tanda penghormatan untuk mempersilakan masuk. Mengacungkan tangan ketika mempersilakan masuk tamu merupakan sebuah penguatan bahasa non-verbal. Hal tersebut merupakan sebuah bentuk apresiasi terhadap tamu selain menggunakan bahasa lisan, dalam hal ini kegiatan tersebut dinyatakan dengan bahasa tubuh.
Pada saat ini dalam mempersilakan masuk tamu orang jawa memiliki tradisi yang berbeda dengan orang jawa jaman dahulu. Pada saat ini orang jawa dalam mempersilakan masuk hanya menggunakan kata-kata yang halus dan sopan misalkan dengan kata-kata “ monggo pinarak mlebet “ dengan arti mari silakan masuk kedalam. Dalam penggunan bahasa pun masyarakat jawa sangat memperhatikan dalam lafal pengucapanya. Orang jawa memang selalu menuturkan dengan halus sehingga diharapkan tidak menyakiti tamu, sehingga tamu dapat lebih krasan dan lama dalam bertamu.
Bagi masyarakat jawa tamu memang dianggap sebagai raja yang memang patut untuk dihargai keberadaanya. Sehingga dalam penyambutanya pun orang jawa sangat memperhatikan kedatanganya. Mulai dari cara mempersilakan masuk hingga caranya dalam mentuguhkan hidangan disaat tamu tersebut datang dan berkunjung.

Orang Jawa pada prinsipnya wajib mempertahankan dan wajib membawa diri sesuai dengan nilai budayanya. Prinsip hormat ini dapat disejajarkan dengan prinsip sopan-santun dalam pengertian yang luas, baik dalam bahasa maupun dalam pergaulan sehari-hari. Sopan-santun dalam prilaku orang jawa menyangkut dua hal, yaitu tingkah laku atau sikap.
Budaya lahir karena tradisi turun temurun sehingga tetap terjaga kelestarianya. Saat ini para generasi mudah sudah banyak tidak mngetahui bahasa yang digunakan orang jaman dahulu. Hal ini disebabkan karena generasi muda saat ini kurang mampu  bertutur  krama  yang  baik  dan benar  hal ini  sudah  berlangsung  lama.  kemampuan  berbahasa  Jawa  krama  generasi  muda  masyarakat  Jawa sebenarnya  mulai  terjadi. Gejala  itu menunjukkan bahwa sebenarnya  rasa bangga dan  rasa setia serta kesadaran akan norma terhadap bahasa Jawa generasi muda sudah mulai luntur.


DAFTAR PUSTAKA
Sedyawati, Edi, BUDAYA INDONESIA, Jakarta:  PT. Raja Grafindo Persada.
Koentjaraningrat, 1994, KEBUDAYAAN  JAWA, Jakarta: Balai Pustaka.
Herusatoto, Budiono, 2008, SIMBOLISME JAWA, Yogyakarta: Ombak.
Hengki Sudarmawan, 2005. Tingkat tutur bahasa jawa krama pada generasi muda sinoman di kecamatan Grogol kabupaten Sukoharjo. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Poedjosoedarmo, Soepomo,  et al.  (1979). Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Mengenal Lebih Awal Budaya Wong Jawa



Mengenal Lebih Awal Budaya Wong Jawa

Dalam suatu masyarakat, dapat dilihat bahwa para warganya walaupun mempunyai sifat-sifat individual yang berbeda, tetapi mereka akan memberi reaksi yang sama pada gejala-gejala tertentu. Sebab dari reaksi yang sama itu karena mereka memiliki sikap-sikap umum yang sama, nilai-nilai yang sama dan perilaku yang sama. Hal-hal yang dimiliki bersama itulah yang dalam antropologi budaya dinamakan  kebudayaan. Dalam setiap masyarakat, disamping terdapat pola-pola budaya yang nyata-nyata merupakan kebiasaan, juga terdapat pola-pola budaya ideal, yaitu hal-hal yang menurut warga masyarakat harus dilakukan, atau norma-norma. (Ihromi:13)
Dilihat dari berbagai tujuan dan sudut pandang tentang kebudayaan, menunjukkan bahwa kebudayaan itu merupakan suatu persoalan yang sangat luas, namun esensinya adalah bahwa kebudayaan itu melekat dengan diri manusia. Artinya manusialah pencipta kebudayaan itu. Kebudayaan merupakan kelahiran dari manusia itu sendiri. Sehingga kebudayaan dapaat dilihat dari dua sisi, yaitu kebudayaan sebagai suatu proses dan kebudayaan sebagai  suatu produk.
Sedangkan tradisi adalah kumpulan kebiasaan tentang batas kelompok dan tentang pandang dunia, yang biasanya diteruskan kepada orang-orang muda dari suatu masyarakat dalam mempersiapkan mereka akan partisipasi penuh sebagai orang-orang dewasa dalam budaya itu. Transmisi ini berlangsung melalui ritus-ritus inisiasi pada pubertas, melalui sistem-sistem pendidikan, dan melalui pergaulan dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi menyediakan perbendaharaan yang nyata ini, yang dapat diacu guna mempertahankan jati diri bila diancam, dan untuk menegaskannya bila perlu. Karena jati diri bukanlah sesuatu yang sifatnya tampak secara alamiah.

A.  Daerah Asal Kebudayaan Jawa
Kebanyakan orang Jawa hanya mendiami bagian tengah dan timur dari seluruh Pulau Jawa; sebelah baratnya (yang hampir merupakan Dataran Tinggi Priangan), seperti yang kita ketahui, adalah daerah Sunda. Batas dari daerah Jawa dan Sunda sulit ditentukan secara tepat, tetapi garis batas itu dapat digambarkan di antara Sungai Citandui dan Sungai Cijulang di sebelah selaatan, serta kota Indramayu yang berada di sebelah utara. Seperti halnya orang Jawa, Orang Sunda merupakan suku-bangsa dengan penduduk yang besar (merupakan nomor dua terbesar di Indonesia, dengan jumlah penduduk sebesar 20 juta pada tahun 1971).
Hampir seluruh Pulau Jawa memang padat penduduknya, bahkan Pulau Madura yang gersang di sebelah timur-laut Pulau Jawa juga memiliki angka nyawa yang banyak, sekitar dua juta jiwa pada tahun yang sama. Pulau jawa yang luasnya hanya 7% dari seluruh Kepulauan Indonesia bahkan dihuni oleh lebih dari 60% dari keseluruhan penduduk yang ada di Indonesia; yang mana merupakan daerah asal kebudayaan Jawa.
Bukit-bukit kapur pada umumnya berbentuk rata, dengan ketinggian yang tidak mencolok, terdapat di sekitar pantai utara Jawa Timur dan pantai selatan. Di kaki-kaki gunung berapi dekat pantai utara selatan dan pantai utara di sebelah timur Pulau Jawa. Di banyak tempat di pantai selatan, pegunungan tersebut merupakan tebing-tebing yang curam.
Dari lereng-lereng gunung dan bukit mengalir sungai-sungai yang membawa batu-batu muntahan gunung-gunung berapi ke lembah-lembah yang luas di tepi sungai-sungai besar. Lembah yang terdiri dari tanah pasir dan batu kerikil halus itu mengandung kesuburan yang tinggi untuk pertanian, dengan suatu kapasitas kandungan air yang tinggi pula. Sungai Brantas di Jawa Timur, membawa bahan-bahan vulkanis yang subur ke daerah-daerah selatan yang rendah, yang diendapkan di sepanjang pantai selatan Jawa Tengah dan sepanjang pantai utara Jawa Timur.
karena letaknya di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia, maka Kepulauan Indonesia pada umumnya, khususnya Kepulauan Jawa memiliki iklim yang dipengaruhi oleh angin musim, yang dalam satu musim berembus dari Benua Hindia, dan musim lainnya dari Benua Australia yang kering. Selama bulan-bulan Desember hingga Mei, akibat musim, di daerah barat-daya turun hujan lebat, dan selama bulan-bulan Juni hingga November, akibat musim, di tenggara terjadi musim kering. Curah hujan yang terlampau besar disebabkan karena penguapan yang sangat besar, menyebabkan cepat kurusnya tanah.  Oleh karena itu di daerah pegunungan curah hujan juga lebih besar daripada di dataran rendah, begitu juga sisi-sisi lereng-lereng gunung yang mendapat embusan angin. Lereng-lereng gunung yang berada pada sisi-sisi yang berlawanan mempunyai ciurah hujan yang tinggi. Suhu Pulau Jawa pada umumnya konstan, dengan perbedaan kecil dari hari ke hari, yaitu 80˚ di dataran rendah di daerah pantai, dan 60˚ di daerah pedalaman pegunungan. Pulau Jawa memiliki panjang lebih dari 1.200 km dengan lebar 500 km bila diukur dari ujung-ujungnya yang terjauh. Pulau Jawa terletak di tepi sebelah selatan Kepulauan Indonesia, kurang lebih tujuh derajat di sebelah selatan garis khatulistiwa. Pulau Jawa sendiri hanya merupakan tujuh persen dari total Kepulauan Indonesia.
Sepanjang daerah Pulau Jawa melintang gunung berapi, baik yang masih bekerja maupun tidak, antara 1.500 hingga 3.500 meter di atas permukaan laut. Gunung-gunung berapi dengan celah-celah yang mengeluarkan gas-gas dan asap, senantiasa memuntahkan lava dan abu. Kecuali gunung-gunung berapi utama ini, ada gunung-gunung dan bukit-bukit yang lebih kecil yang terpencar letaknya, yang ada kalanya berasal dari gunung-gunung berapi utama.


B.  Jumlah Penduduk Jawa
Sudah diketahui bahwasanya Pulau Jawa memiliki penduduk yang tingkat kepadatannya jauh lebih besar daripada pulau Nusantara yang lain, dan sejak pertengahan abad ke 19 migrasi pun menjadi hal yang spontan dan lumrah maupun dipaksakan terhadap orang-orang Jawa ke pulau lain. Sejak tahun 1870 petani Jawa dikontrak untuk bekerja di perkebunan tembakaua atau tambang timah di Sumatra Utara dan Sumatra Timur. Hal ini bukan lagi asing bagi penduduk Jawa mengingat pada zaman-zaman sebelumnya mereka sudah dipaksa untuk bekerja di daerah jajahan-jajahan Belanda seperti Tanjung Harapan Afrika.
Laju pertumbuhan di Pulau Jawa sangat tinggi tanpa mengetahui jumlah pasti dari angka tersebut. Dari penduduk yang tinggal di tanah Jawa pun tidak semuanya orang pribumi Jawa. Banyak dari luar pulau yang memutuskan untuk tinggal di tempat yang disinyalir lebih padat penduduknya. Dari sini, data-data mengenai pertumbuhan pulau Jawa selama abad ke 19 didapat dari sejarah sosial perkiraan-perkiraan yang termaktub di dalam beberapa buku. T. S. Raffless, History of Java (1918, I:63) menyebutkan dari angka-angka mengenai penduduk yang terbit dalam Koloniale Verslagen, yang setelah tahun 1860, para ahli demografi memperhitungkan bahwa penduduk dalam abad ke 19 dikaitkan dengan sistem heerendiesten (kerja paksa), dan penduduk yang tidak terkena wajib kerja hampir tidak diperhatikan. Perhitungan didasarkan kepemilikan harga rumah, dan tidak berdasarkan jumlah penduduk yang ada.
Pemindahan penduduk terhadap orang Jawa ke daerah Lampung di Sumatra Selatan dimulai pada tahun 1905. Pada waktu itu, sebanyak 155 keluarga Jawa diberangkatkan atas biaya pemerintah di mana mereka masing-masing mendapat sebuah gubuk untuk tempat tingga, alat pertanian, serta uang untuk menghidupi mereka. Sehingga pada tahun 1940 penduduk transmigran dari Jawab, Madura, dan Bali sendiri sudah melebihi jumlah penduduk asli dari Lampung itu sendiri.

C. Bahasa Orang Jawa
Bahasa adalah media untuk meneruskan hasil pelajaran manusia kepada sesamanya dan kepada generasi-generasi berikutnya, dengan kata lain bahasa adalah alat komunikasi atau alat penghubung antar manusia. Komunikasi antar manusia diadakan antara lain dengan menggunakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Komunikasi antar manusia juga dapat menggunakan bentuk lain yaitu dengan menggunakan lambang-lambang/ simbol-simbol baik yang berupa kata/bahasa tulis seperti naskah atau surat, berupa isyarat misalnya bunyi lonceng dan peluit, berupa gerak tubuh seperti simbol-simbol huruf morse dengan bendera. Komunikasi dengan menggunakan bahasa adalah bersifat umum atau universal. Beberapa fungsi bahasa yang dapat dilihat secara umum;
1.      Untuk tujuan praktis; mengadakan antarhubungan dalam pergaulan manusia.
2.      Untuk tujuan artistik; di mana manusia mengolah dan mempergunakan bahasa itu dengan cara seindah-indahnya guna pemuasan rasa aestetis manusia, baik berupa cerita /kisah/syair, gambar/lukisan, nada/musik, maupun pahatan-pahatan.
3.      Untuk tujuan fisiologis; untuk mempelajari naskah-naskah kuno, untuk menyelidiki latar belakang sejarah manusia, sejarah kebudayaan dan adat istiadat serta perkembangan bahasa itu sendiri.
4.      Untuk menjadi kunci dalam mempelajari penegtahuan-pengetahuan lainnya. (Drs, Goris Keraf, 1 978:14).
Bahasa pada suku bangsa relatif besar dengan jumlah beberapa juta penutur senantiasa mengalami variasi-variasi yang disebabkan oleh adanya perbedaan wilayah geografis dan adanya perbedaan lapisan serta lingkungan sosial. Di dalam bahasa Jawa, misalnya; bahasa orang Jawa di Pekalongan, Tegal serta Yogyakarta jelas memiliki logat yang berbeda.
Bahasa Kesusasteraan dan Bahasa sehari-hari. Bahasa orang Jawa tergolong sub-keluarga Hesperonesia dari keluarga bahasa Malayo-Polinesia (Murdock 1964: 222). Bahasa Jawa telah dipelajari dengan seksama oleh sarjana-sarjana Inggris, Jerman, dan terutama Belanda. Pada umumnya mereka menggunakan metode filologi dan bukan metode linguistik. Ia memiliki suatu sejarah kesusastraan yang dapat dikembalikan ke abad ke-8, dan selama itu bahasa tersebut telah berkembang melalui beberapa fase yang dapat dibeda-bedakan atas dasar beberapa ciri idiomatik yang khas dan beberapa lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda dari tiap pujangganya (Pigeaud 1967-70: I, 11-14). Dengan demikian kecuali bahasa Jawa kesusasteraan yang secara kronologi dapat dibagi ke dalam enam fase seperti yang tersebut dibawah ini:
1.      Bahasa Jawa Kuno; yang dipakai prasasti-prasasti keraton pada zaman antara abad ke-8 dan ke-10, dipahat pada batu atau diukir pada perunggu. Menggunakan karya-karya kesusastraan kuno pada abad ke-10 hingga ke-14.
2.      Bahasa Jawa Kuno yang dipergunakan dalam kesusastraan Jawa-Bali. Kesusastraan ini ditulis di Bali dan di Lombok sejak abad ke-14. Kemudian semenjak Islam tiba di Jawa Timur, kebudayaan Hindu-Jawa beralih ke Bali pada abad ke 16, dan bahasa kesusastraan ini masih hidup sampai sekarang meskipun mendapat moodifikasi dari Bali sendiri.
3.      Bahasa Jawa Kuno yang dipergunakan dalam kesusastraan Islam di Jawa Timur. Kesusastraan ini  ditulis menggantikan kesusastraan Hindu-Jawa di daerah aliran sungai Brantas dan hilir sungai Bengawan Solo pada abad ke 16 dan 17.
4.      Bahasa kesusastraan Jawa-Islam di daerah pesisir, kebudayaan yang berkembang di pusat-pusat agama di kota-kota pantai utara pulau jawa pada abad ke 17 dan ke 18. Orang Jawa juga membedakan antara kebudayaan pesisir yang lebih muda berpusat di pelabuhan kota Cirebon, dan suatu kebudayaan pesisir timur yang lebih tua berpusat di kota Demak, Kudus, dan Gresik.
5.      Bahasa kesusastraan kerajaan Mataram, bahasa ini dipakai dalam karya-karya karangan pujangga keraton kerajaan Mataram pada abad ke 18 dan ke 19, yang terletak di daerah aliran sungai Bengawan Solo ditengah komplek pegunungan Merapi-Merbabu-Lawu di Jawa Tengah.
6.      Bahasa Jawa masa kini, bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari dalam masyarakat Jawa dan dalam buku-buku serta surat-surat kabar berbahasa Jawa abad ini.
Sepanjang sejarah kesusastraan Jawa, orang Jawa telah mengenal beberapa tulisan asli. Ada suatu legenda yang menerangkan mengenai asal mula kebudayaan Jawa bermula dari kisah Pangeran Ajisaka. Ditilik merupakan asal usul dari tulisan Jawa yang terdiri dari duapuluh huruf, itu yakni; “hanacarakadatasawalapadhajayanyamagabathanga.”
Menurut para ahli epigrafi, tulisan Jawa berasal dari suatu bentuk tulisan Sanskerta Dewanagari dari India Selatan yang terdapat pada prasasti-prasasti dari dinasti Palawa yang ditemukan pada abad ke 4. Dengan demikian, tulisan tersebut dapat dinamai tulisan Palawa. Namun, seiring bertambahnya waktu, huruf-huruf Palawa yang berada di Jawa juga mengalami perubahan. Sehingga para pujangga Jawa Timur pada abad ke 10 hingga abad ke 11 menggunakan bahasa Jawa ciptaan kakawin mereka sendiri.
Kesusastraan Jawa ada juga yang ditulis dengan menggunakan tulisan pegon atau gundhil, yakni tulisan Arab yang disesuaikan dengan keperluan bahasa Jawa. Penggunaan huruf ini biasanya tidak untuk percakapan sehari-hari, lebih kepada pengajaran dalam agama Islam.
Bahasa Jawa digunakan dalam karya-karya kesusastraan zaman Kerajaan Mataram akhir abad ke 19, terutama bahasa Jawa yang digunakan sebagai bahasa pergaulan pada abad ke 20 dengan tingkatannya yang sangat rumit terdiri dari sembilan gaya bahasa. Sistem ini menyangkut perbedaan-perbedaan yang wajib digunakan, mengingat adanya perbedaan pangkat, umur, serta tingkat kekakraban antara si penyapa dengan yang disapa.
Dalam konsepsi orang Jawa, berbagai gaya ini menyebabkan adanya tingkat-tingkat bahasa yang berbeda-beda tinggi rendahnya. Ada dua unsur menurut linguistik yang membedakan tinggi-rendah bahasa, yakni;
1.      Perbedaan morfologi yang disebabkan karena penggunaan awalan atau akhiran yang lain.
2.      Perbedaan sintakis yang disebabkan karena penggunaan sinonim yang lain, partikel yang lain, atau kata ganti orang yang lain, atau kata ganti petunjuk yang lain
Kecuali ketiga gaya yang paling dasar dalam berbahasa Jawa, yakni; gaya tak resmi, gaya setengah-resmi, dan gaya resmi (Ngoko, Madya, Kromo), ada enam gaya lain yang terbentuk dari kombinasi tiga gaya dasar tersebut. Dalam bahasa Jawa juga terdapat kira-kira 300 kata yang wajib dipakai untuk membicarakan milik, bagian tubuh, tindakan atau sifat-sifat orang kedua yang sederajat, atau orang ketiga yang lebih tinggi kedudukannya akan disebut dengan krama inggil.
Adalagi selain sembilan tingkatan bahasa tadi, masih terdapat Basa Kedhaton atau Bagongan, yang sangat berbeda dari bahasa-bahasa lain. Bahasa ini pada umumnya hanya digunakan oleh pembicaraan-pembicaraan resmi dalam kraton di Surakarta maupun Yogyakarta.
Di dalam Jawa pun terdapat adat-istiadatnya tersendiri dalam menuntut penggunaan gaya bahasa yang tepat, tergantung sedang dalam interaksi mana orang tersebut berbicara. Memaksa orang terlebih dahulu untuk  menentukan setepat mungkin kedudukan orang yang diajak berbicara dalam hubungan dengan kedudukannya sendiri.
Di bagian barat daerah kebudayaan Jawa terdapat aliran sungai Serayu yang berasal dari kompleks pegunungan Dieng-Sundoro-Sumbing yang mengalir berkelok-kelok ke arah barat daya sebelum akhirnya bermuaar ke Samudra Hindia di sebelah selatan Pulau Jawa. Orang-orang Jawa yang tinggal disekitar daerah ini mengucapkan suatu logat Banyumas yang khas, dalam logat di mana vokal bawah belakang dalam bahasa Jawa umum diucapkan sebagai vokal bawah tenagh, yang seringkali diakhiri dengan pita suara tutup pada akhir kata.
Di daerah aliran Sungai Opak dan Praga, serta hulu di Sungai Bengawana Solo, ditengah-tengah kompleks gunung berapi Merapi-Merbabu-Lawu menggunakan logat Jawa Tengah Solo-Yogya. Daerah ini juga yang merupakan daerah pusat kebudayaan Jawa-Kraton, yang dianggap sebagai daerah dari sumber nilai-nilai dan norma-norma Jawa. Serta logat Solo-Yogya yang dianggap sebagai “bahasa Jawa yang beradab”.
Di sebelah utara daerah ini terdapat logat Jawa Pesisir yang digunakan oleh masyarakat pantai utara. Sedangkan bagian barat daerah sub-kebudayaan Pesisir sangat dipengaruhi kebudayaan dan bahasa Sunda, yang nampak pada logat cirebin, Indramayu, Tegal, dan daerah sekitarnya.
Sebelah timur daerah sub-kebudayaan Jawa Tengah adalah Sungai Brantas, daerah sekitar kota Madiun dan Kediri di bagian baratnya, dan kota Malang, Lumajang, dan Jember di bagian timurnya masih cenderung memiliki logat Solo-Yogya, kecuali yang melewati delta Sungai Brantas, khususnya Surabaya memiliki logat lain yang khas pula.
Bahasa Jawa yang dipakai di daerah pantai Jawa Timur sangat terpengaruh bahasa Madura yang sama sekali berbeda dengan bahasa Jawa, sedangkan di ujung timur seperti  Banyuwangi, dan Blambangan, banyak dipengaruhi oleh bahasa Bali.

Simpulan
Pulau Jawa memiliki tingkat penduduk yang sangat besar, namun kepadatan penduduk pada pulau Jawa mempuyai jenis bahasa yang berbeda-beda. Berbeda dengan tulisan Palawa Jawa yang cenderung baku dan disamakan tiap daerah. Sayangnya, tulisan Palawa kini sudah mulai jarang digunakan ole masyarakat. Kendati pun mereka menulis dengan menggunakan bahasa Jawa, mereka sudah menyalinnya menjadi huruf Latin.

Daftar Pustaka
Herususanto, Budiono. 2008. Simbolis Jawa. Yogyakarta: Ombak.
Ihromi. 1984. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Koentjaraningrat. 1994. Kehidupan Jawa (Seri Etnografi). 1994: Balai Pustaka.
Stockdale, John Joseph. 2010. Eksotisme Jawa; Ragam Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Progresif Book.
Sholikin, Muhammad. 2010. Ritual dan Tradisi Orang Jawa.Yogyakarta : PT Suka Buku.
Zuhdi, M. Najmuddin, dkk. 2008. 125 Masalah dalam Puasa. Solo: PT Tiga Serangkai.