Sikap Hidup
Orang Jawa
Bangsa Indonesia adalah
sebuah bangsa dengan masyarakatnya yang pluralistic mempunyai berbagai macam,
bentuk, dan variasi dari kesenian budaya. Kemajuan sebuah bangsa ditentukan
oleh peradaban budayanya. Suku bangsa
Jawa memiliki pengetahuan yang menjadi dasar pemikiran dan sejarah
kebudayaanya yang khas, dimana dalam epistemology dan kebudayaanya digunakan
simbol-simbol atau lambang-lambang
sebagai sarana atau media untuk menitipkan pesan-pesan atau nasehat-nasehat
bagi bangsanya. Dari data sejarah jawa
memang menunjukan tentang penggunaan simbol-simbol itu dalam tindakan, bahasa
dan religi Jawa, yang telah digunakannya sejak zaman prasejarah.
Bangsa Indonesia merupakan
bangsa baru yang terdiri dari berbagai suku bangsa, yang semua pada dasarnya
adalah pribumi, artinya, semua adalah suku-suku bangsa yang mesikpun dahulu
kala bermigrasi dari tempat lain, secara turun temurun telah tinggal diwilayah
geografis Indonesia sekarang ini, dan merasa bahwa itu adalah tanah airnya.
Bangsa baru ini terbentuk karena suatu kemauan politik untuk menyatukan diri,
dan dengan itu membangun sebuah Negara serta membebaskan diri dari segala
bentuk penjajahan oleh bangsa lain. Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia
Indonesia hingga dewasa ini secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai
tumpukan pengalaman budaya dan pembangunan budaya yang terdiri dari
lapisan-lapisan budaya yang terbentuk sepanjang sejarahnya (Edi Setyawati, 2006
; 315, 317).
Dengan membandingkan
kebudayaan Jawa di daerah pedesaan dan kebudayaan Jawa di perkotaan, tetapi
didasarkan pada perbedaan antara agama Islam Jawa yang sinkretis, yang
menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu dan Islam, dan agama Islam yang
puritan, atau mengikuti ajaran agama secara lebih taat. Walaupun ada perbedaan-perbedaan
antara kehidupan beragama para pegawai di kota-kota, suatu deskripsi yang
bertolak dari kedua varian dalam agama Islam di Jawa itu akan lebih jelas
(Koentjaraningrat, 1994 ; 310).
Kebudayaan Hindu-Budha
di daerah-daerah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur selama paling sedikit dua
abad telah menghalangi masuknya agama Islam, yaitu ketika kemakmuran dan
kekuatan kota-kota pantai dari daerah pesisir menurun karena munculnya
perdagangan dan kemudian kekuasaan orang-orang Eropa di Nusantara ini (Koentjaraningrat,
1994 ; 310).
Pandangan hidup orang
jawa atau filsafat Jawa yang berupa rangkuman dari alam pikir Jawa tradisional,
kepercayaan Hindu atau filsafat India dan ajaran tasawuf/mistikisme Islam.
Pandangan hidup tersebut telah banyak dituangkan ke dalam karya-karya sastra
pujangga Baru pada Zaman Surakarta, baik dalam bentuk prosa atau puisi/tembang
Jawa (Budiono Herusatoto, 2008 ; 114).
Sikap dan tingkah laku
masyarakat orang Jawa
Budaya iku dadi kaca benggalaning
bangsa (kebudayaan itu menjadi cermin besar yang menggambarkan peradaban suatu
bangsa), demikian kata pepatah jawa . setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kabudayaan (kebudayaan) sendiri yang
berbeda dengan kebudayaan bangsa atau suku bangsa lainnya membuktikan bahwa
peradaban suatu bangsa atau suku bangsa yang bersangkutan memiliki pengetahuan,
dasar-dasaar pemikiran dan sejarah peradaban yang tidak sama antara satu dengan
lainnya.
Fenomena kehidupan
orang Jawa yang menunjukan simbolisme itu tampak dalam tata kehidupan
kesehariannya baik dalam penggunaan bahasanya, sastra, seni, dan langkah
tindakan-tindakannya, baik dalam pergaulan sosial maupun dalam upacara-upacara
spiritual dan religinya yang selalu menggunakan simbol-simbol untuk mengungkapkan
rasa etis, estetis, spiritual dan religi untuk menuangkan citra budayanya ( Budiono
Herusatoto, 2008 ; 1, 2 ).
Pembicaraan tentang
Jawa, kejawen, merupakan
pembicaraan yang tiada putus bagi orang Jawa. Kejawen memiliki
kedekatan arti dengan
kultur Jawa, yang berarti juga
melingkupi bagaimana seorang Jawa itu bertingkah polah menjalani hidup Sebagai sebuah
kultur, kejawen juga melingkupi
pola pikir serta sikap dan
pola kehidupan. Misalnya, dengan menerapkan
pola pikir seperti andhap asor
(santun), menghormati orang lain,
serta tidak bersikap
egois, kasar atau arogan,
yang tidak menunjukkan sikap hidup orang
Jawa. Berikut beberapa contoh sikap dan norma yang telah mengalami perubahan
yang terjadi pada masyarakat jawa sekarang pada umumnya :
- Cara Menghormati Orang yang Lebih Tua Melalui Tutur Kata
Bahasa adalah sistem lambang berupa bunyi yang
bersifat sewenang-wenang arbiter yang
dipakai oleh anggota-anggota masyarakat
untuk saling berhubungan
dan berinteraksi. Sebagai suatu
sistem, bahasa itu
mempunyai aturan-aturan yang
saling bergantung dan mengandung struktur unsur-unsur untuk dianalisis
secara terpisah-pisah. Orang berbahasa
mengeluarkan bunyi-bunyi berurutan membentuk suatu struktur tertentu (Hengki
Sudarmawan, 2004 ; 18 ).
Tingkat
tutur ngoko mencerminkan rasa
tak berjarak antara
penutur terhadap mitra tutur, artinya penutur tidak memiliki rasa
segan terhadap mitra tutur.
Sedangkan tingkat tutur krama yaitu
tingkat tutur yang mengungkapkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini
menandakan adanya perasaan
segan ‘pakewuh’ penutur terhadap
lawan tutur, karena lawan
tutur adalah orang yang belum dikenal, atau berpangkat atau priyayi,
berwibawa, dan lain-lain. Pemakaian tingkat
tutur krama mencerminkan
perhormatan penutur terhadap mitra tutur. Pemakaian tingkat
tutur krama biasanya digunakan oleh status sosial rendah terhadap status
sosial lebih tinggi, misalnya terjadi
antara pembantu dengan
majikannya, abdi dalem dengan
trah praja, pegawai dengan atasannya, pemuda dengan orang
yang lebih tua atau disegani dan sebagainya. (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979 : 14 ).
2. Berpamitan kepada Orang Tua dengan Mencium
Tangan
Ketika kita
waktu kecil, pasti sudah diajarkan bagaimana cara menghormati orang tua selain
dengan sikap dan sopan santun kita terhadap orang tua, termasuk bagaimana
menghormati orang tua dengan mencium tangan mereka.
Mencium
tangan orang tua mungkin adalah hal yang lazim kita lakukan sehari-hari. Ketika
kita ingin bepergian atau berpamitan untuk keluar rumah biasanya kita meminta
ijin dengan mencium tangan mereka. Selain itu mencium tangan orang tua juga
bisa diartikan dengan pemberian rasa hormat kita sebagai seorang anak kepada
orang tua. Mencium tangan orang tua mungkin memang hanya diajarkan oleh agama
islam, dimana mencium tangan orang tua merupakan sunah dan Nabi Muhammad SAW
mengajarkan kita untuk hal itu.
Pada saat
ini sangat jarang hal tersebut dilakukan, karena kondisi orang tua dan anak
yang sama-sama kurang mempunyai kesadaran. Orang tua yang gila dengan pekerjaan
tak pernah berfikir hingga sedemikian rupa. Beliau hanya berfikir bahwa materi
dapat memberikan kasih sayang yang lebih terhadap anaknya. Sehingga anak pada
jaman sekarang banyak yang tumbuh tidak sesuai dengan norma yang berlaku,
terutama pada sikap anak jaman sekarang cenderung individualis. Akan tetapi
saat ini telah banyak diperlihatkan bahwa kebudayaan yang ada kini kita berkiblat
menggunakan kebiasaan orang barat dengan menggunakan cara berpamitan dengan
orang tua ketika akan keluar rumah mencium pipi kedua orang tua mereka.
Suku Jawa
umumnya mereka memiliki sifat lebih suka menyembunyikan perasaan. Menampik
tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang dijaga. Misalnya
saat bertamu dan bertemu dengan orang-orang yang dianggap lebih tua. Karakter
khas seorang yang bersuku Jawa adalah bersalaman sembari mencium telapak tangan
orang yang dikunjungi dan dirasa lebih tua sehingga patut dihormati, bahkan
terkadang sikap sungkan mampu melawan kehendak atau keinginan hati. Suku
Jawa memang sangat menjunjung tinggi etika. Sehingga sikap yang ditunjukkan orang
yang lebih muda hendaknya betul-betul mampu menjaga sikap etika yang baik
terhadap orang yang usianya lebih tua dari dirinya, dalam bahasa jawa Ngajeni. sikap hidup orang Jawa yang
menejunjung tinggi nilai-nilai positif dalam kehidupan. Dalam interaksi antar
personal di masyarakat, mereka selalu saling menjaga segala kata dan perbuatan
untuk tidak menyakiti hati orang lain.
Namun pada
masyarakat jawa saat ini sikap ramah dan sopan terhadap orang yang lebih tua
memang masih ada namun hanya dilakukan dengan berjabat tangan saja tanpa
mencium telapak tangan hal tersebut sudah jarang dilakukan karena beberapa
faktor salah satunya memang tidak semua orang melakukan kebiasaan cium tangan
kepada orang tua atau kepada guru mereka. Hal ini disebabkan karena memang
sejak kecil mereka tidak dibiasakan untuk mencium tangan sebagai tanda hormat. Seperti
hal nya orang yang beragama non muslim. Mereka tidak diajarkan bagaiman tata
cara mencium tangan kedua orang tua, dan lain hal nya dengan yang beragama
muslim yang memang sudah diajarkan untuk membiasakan diri mencium tangan orang
tua atau orang yang lebih tua dari mereka dan juga hal ini memang merupakan
sunah.
3. Gotong royong
Salah satu kegiatan yang menjadi kunci dalam kondisi
sosial dan politik dan budaya di Indonesia. Hal itu kita kenal dengan
gotong royong, suatu frase yang berasal dari bahasa Jawa yaitu ngotong
yang dalam bahasa Sunda berarti membawa sesuatu secara bersama-sama dan royong.
Gotong royong merupakan sebuah penggambaran kehidupan sosial masyarakat
Indonesia, diawali dari masyarakat pedesaan di Jawa sebagai bentuk hubungan
sosial yang membawa masyarakat dalam sistem timbal balik dan digerakkan oleh
etos umum yang ada dalam masyarakat dan kepedulian terhadap kepentingan
bersama.
Gotong Royong menggambarkan perilaku-perilaku
masyarakat pertanian desa yang bekerja untuk yang lainnya tanpa menerima upah,
dan lebih luas, sebagai suatu tradisi yang mengakar, meliputi aspek-aspek
dominan lain dalam kehidupan sosial. Gotong royong dapat diartikan
sebagai aktivitas sosial, namun yang paling penting dalam memaknainya adalah
menjadikannya filosofi dalam hidup yang menjadikan kehidupan bersama sebagai
aspek yang paling penting. Gotong royong menjadi bagian dari budaya Indonesia
dalam generalisasi mengenai bentuk-bentuk sosial semacam ini menimbulkan
pertanyaan antara sifat alamiah timbal balik dan pekerja untuk kepentingan
bersama di wilayah pedesaan.
4. Saling Memberi
Didalam
masyarakat jawa telah diajarkan sebuah sikap saling mengasihi antar sesama.
Saling mengasihi tercemin dalam sikap masyarakat jawa disaat melihat orang yang
membutuhkan bantuan kita. Misalnya pengemis. Pengemis merupakan seseorang yang
tidak mampu dan saat kita mnegetahuinya kita wajib membantu. Sehingga orang tua
dahulu selalu memberikan pengertian dan mendidik anaknya untuk selalu meberika
perhatian lebih terhadap pengemis. Pengemis pada dasarnya merupakan seorang
yang tidak mampu menjalani hidupnya dengan alasan tertentu, sehingga ia tidak
dapat melakukan hal lain selain mengemis untuk dapat memenuhi kebutuhanya.
Sehingga disaat kita menemukan seorang pengemis dalam agama kita masing –
masing sangat dianjurkan untuk saling memberi.
5. Mempersilakan Masuk Tamu
Budaya jawa yang berkembang
kepada masyarakat cukup banyak, dalam perkembanganya budaya tersebut ada yang
masih tetap untuh namun terdapat beberapa budaya yang hilang ataupun punah.
Salah satu budaya masyarakat jawa yang hamper punah adalah cara masyarakat jawa
dalam menghargai tamu. Dalam menghargai tamu masyrakat jawa melakukan beberapa
hal selain menyiapkan suguhan dalam menerima tamu masyarakat jawa biasanya
mengacungkan jempol tangan sebagai tanda penghormatan untuk mempersilakan
masuk. Mengacungkan tangan ketika mempersilakan masuk tamu merupakan sebuah
penguatan bahasa non-verbal. Hal tersebut merupakan sebuah bentuk apresiasi
terhadap tamu selain menggunakan bahasa lisan, dalam hal ini kegiatan tersebut dinyatakan
dengan bahasa tubuh.
Pada saat ini dalam
mempersilakan masuk tamu orang jawa memiliki tradisi yang berbeda dengan orang
jawa jaman dahulu. Pada saat ini orang jawa dalam mempersilakan masuk hanya
menggunakan kata-kata yang halus dan sopan misalkan dengan kata-kata “ monggo pinarak mlebet “ dengan arti mari
silakan masuk kedalam. Dalam penggunan bahasa pun masyarakat jawa sangat
memperhatikan dalam lafal pengucapanya. Orang jawa memang selalu menuturkan
dengan halus sehingga diharapkan tidak menyakiti tamu, sehingga tamu dapat
lebih krasan dan lama dalam bertamu.
Bagi masyarakat jawa tamu
memang dianggap sebagai raja yang memang patut untuk dihargai keberadaanya.
Sehingga dalam penyambutanya pun orang jawa sangat memperhatikan kedatanganya.
Mulai dari cara mempersilakan masuk hingga caranya dalam mentuguhkan hidangan
disaat tamu tersebut datang dan berkunjung.
Orang Jawa pada
prinsipnya wajib mempertahankan dan wajib membawa diri sesuai dengan nilai
budayanya. Prinsip hormat ini dapat disejajarkan dengan prinsip sopan-santun
dalam pengertian yang luas, baik dalam bahasa maupun dalam pergaulan
sehari-hari. Sopan-santun dalam prilaku orang jawa menyangkut dua hal, yaitu
tingkah laku atau sikap.
Budaya lahir karena
tradisi turun temurun sehingga tetap terjaga kelestarianya. Saat ini para
generasi mudah sudah banyak tidak mngetahui bahasa yang digunakan orang jaman
dahulu. Hal ini disebabkan karena generasi muda saat ini kurang mampu bertutur
krama yang baik
dan benar hal ini sudah
berlangsung lama. kemampuan
berbahasa Jawa krama
generasi muda masyarakat
Jawa sebenarnya mulai terjadi. Gejala itu menunjukkan bahwa sebenarnya rasa bangga dan rasa setia serta kesadaran akan norma
terhadap bahasa Jawa generasi muda sudah mulai luntur.
DAFTAR PUSTAKA
Sedyawati,
Edi, BUDAYA INDONESIA, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Koentjaraningrat,
1994, KEBUDAYAAN JAWA, Jakarta: Balai
Pustaka.
Herusatoto,
Budiono, 2008, SIMBOLISME JAWA, Yogyakarta: Ombak.
Hengki Sudarmawan, 2005.
Tingkat tutur bahasa jawa krama pada
generasi muda sinoman di kecamatan Grogol kabupaten Sukoharjo. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.
Poedjosoedarmo, Soepomo, et al.
(1979). Tingkat Tutur Bahasa Jawa.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.