Tradisi
Rewangan di Desa Kwarasan Grogol Sukoharjo
Manusia dalam hidupnya
mengalami beberapa peristiwa penting dalam hidupnya yaitu, kelahiran,
pernikahan, dan kematian. Upacara tradisi yang berlaku untuk memperingatinya
dalam masyarakat setempat adalah diselenggarakannya acara hajatan.
Tetangga-tetangga datang membantu tanpa pamrih untuk membantu kelancaran proses
hajatan tersebut adalah bentuk tradisi “rewangan” yang akhirakhir ini mengalami
tanda-tanda pergeseran. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan penyebab
terjadinya pergeseran tradisi “rewangan” dan mendeskripsikan dampak pergeseran
tradisi “rewangan” di desa ngasinan, kwarasan, grogol, sukoharjo.
Rewangan berasal dari
kata “rewang” yang berarti: membantu. Menurut referensi lain, “rewangan”
berasal dari kata “rewang” yang berarti mara perlu tetulung. Kegiatan para
wanita tetangga yang membantu di tempat tuan rumah untuk mempersiapkan makanan
di dapur merupakan contoh dari aktivitas “rewang”. Menurut Heddy Shri Ahimsa
Putra, kegiatan sosial di perdesaan contohnya adalah sambatan yang merupakan
aktivitas kaum laki-laki, maka “rewang” dapat dilakukan oleh kedua jenis
kelamin sesuai dengan aktivitasnya, walaupun dalam kenyataannya “rewang” lebih
banyak ditangani kaum wanita. Membantu jika ada tetangga yang hajatan disebut
“rewang”, kendati di sini ada pembagian kerja antara laki-laki dan wanita.
Demikian pula dalam membantu tetangga yang kematian keluarganya. Pendek kata,
segala perilaku membantu di rumah orang lain di mana orang itu bermaksud
mengadakan kegiatan yang melibatkan orang banyak disebut “rewang”.
Rewang biasanya di
acara pernikahan. Dimana dua hari sebelum acara pernikahan dimulai. Rewang ini
biasa dilakukan oleh para ibu-ibu tetangga. Rewang dengan sambatan itu beda. Sedangkan
sambatan biasa dilakukan oleh laki-laki, seperti pembangunan rumah, kerja bakti
desa, dll. Banyak tempat di Jawa, kegiatan gotong royong disebut dalam istilah
lokal adalah sambatan atau gentosan. Apabila kegiatan seperti itu dilakukan
untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan perkarangan rumah dan
perkarangan disebut guyuban; disebut njurug untuk jenis kegiatan pesta dan selamatan,
dan disebut tetulung layat untuk jenis kegiatan yang berhubungan dengan
kemalangan dan bencana.
Rewang atau membantu menyiapkan
segala sesuatu untuk persiapan pernikahan atau hajatan lainnya masih banyak
dilakukan di desa-desa. Rewang hal sederhana yang banyak menfaatnya, banyak
membantu pihak lain. Tak hanya membantu tenaga mempercepat urusan memasak,
tetapi rewangan juga menjadi suport untuk keluarga yang punya hajatan sehingga
lebih siap dan mantap saat Hari H tiba. Tanpa diminta, biasanya para tetangga
akan berdatangan saat ada tetangga yang mempunyai hajatan. Serba gratis, tenaga
yang disumbangkan tidak membutuhkan imbalan jasa uang, hanya cukup dengan
hantaran makanan. Karena biasanya para ibu yang rewang dari pagi sampai malam
berlangsung berhari-hari dan tidak sempat memasak di rumah sehingga oleh yang
punya hajatan di kirimkan makanan untuk keluarga di rumah. Memang ada yang
diminta secara khusus untuk membantu misalnya ada yang mempunyai keahlian
memasak nasi dalam jumlah besar atau adhang sego. Karena membutuhakn tenaga
ekstra dan tidak semua ibu bisa memasak nasai dengan taanak (matang dan enak),
biasanya ada orang khusus yang diminta bantuan dan di bayar jasanya. Yang
seperti ini memang layak dibayar karena biasanya butuh waktu berhari-hari untuk
menyiapkan nasi dalam jumlah besar. Yang terlibat dalam rewangan tidak hanya
ibu tetapi juga bapak-bapak, tetapi lebih lama(bisa berhari-hari) adalah para
ibu.
Di desa saat mempunyai hajatan terutama
pernikahan, minimal seminggu sebelumnya tuan rumah sudah mulai memasak. Karena
tuan rumah sudah mulai memberikan hantaran makanan lengkap (wewehan) kepada
pihak-pihak yang diundang. Jadi tidak hanya tamu yang diundang tidak hanya
diberikan undangan saja, tetapi juga disusuli hantaran makanan yang terdiri
dari nasi, dengan lauk pauk dan sayur seperti ayam, telur, tempe goreng,
bergedel, sayur lombok, mie, gorengan krupuk atau peyek kacang disertai beragam
panganan/makanan ringan seperti wajik, jadah, lemper, jenang, cucur, ungkusan
dll. Sementara para bapak biasanya membantu rewangan saat mendekati Hari H,
misalnya dua hari sebelumnya untuk tarub atau menyiapkan tempat dan dekorasi
pelaminan. Dari urusan bersih-bersih rumah dan halaman sampai membantu
memasangkan kajang/tenda, menata kursi dan meja menjadi bagian tugas para
bapak. Rewangan merupakan kearifan lokal yang masih terpelihara sampai saat
ini. Meskipun ada sebagian warga di desa yang lebih memilih praktis misalnya pesan
katering saat mempunyai hajatan, tetapi sebagian besar masih tetap dengan
tradisi lokal mereka. Kegotongroyongan, kerukunan, kekeluargaan, kekompokan
terasa kental sekali dengan kebiasaan rewangan. Para tetangga merasa ikut serta
mempunyai hajatan dengan keterlibatan dalam rewangan tersebut. Hingga tak
terasa pekerjaan cepat selesai.
Menurut
Koentjaraningrat, desa sebagai tempat menetap komunitas kecil. Desa tidak semata-mata
terikat pada pertanian, tetapi sebagai suatu kumpulan komunitas yang memiliki
ikatan warganya terhadap wilayah yang dialaminya. Selain karakteristik di
atas, Roucek dan Warren menyebutkan perdesaan memiliki karakteristik sebagai
berikut: Besarnya peranan kelompok primer, faktor geografik yang menentukan
sebagai dasar pembentukan kelompok atau asosiasi, hubungan lebih bersifat intim
dan awet, homogeny, mobilitas sosial rendah, keluarga lebih ditekankan
fungsinya sebagai unit ekonomi, populasi anak dalam proporsi yang lebih besar.
Ciri masyarakat desa menurut buku Ensiklopedi Kebudayaan Jawa adalah memiliki
kehidupan sosiokultural. Masyarakat Jawa memiliki ciriciri sebagai berikut:
1. Menjunjung kebersamaan. Rasa kebersamaan
masyarakat jawa diwujudkan dalam bentuk kerja bakti, gotong-royong, gugur
gunung, sambatan, jagongan, dan “rewang”. Apabila ada tetangga yang punya
hajat, tanpa diundang pun tetangga yang lain bersedia dan siap membantu,
2. Suka kemitraan,
3. Mementingkan
kesopanan,
4. Ahli musim,
5. Pertimbangan
religius,
6. Toleransi tinggi,
7. Hormat pada
pemimpin,
8. Hidup pasrah,
9. Cinta seni,
Demikian juga ciri dan
karakteristik masyarakat perdesaan di Jawa, ternyata
sedikit banyak telah mengalami beberapa pergeseran, termasuk yang terjadi di Desa Kwarasan. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya beberapa pergeseran
yang terjadi dengan tradisi-tradisi di perdesaan tersebut. Hubungan masyarakat
lebih bersifat intim dan awet yang tercermin dari eksistensi tradisi paguyuban
desa, saat ini telah terdegradasi oleh hal-hal yang bergaya modern dan
individualistik.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
Sumber wawancara 1 : ibu Sipah Handayani
Sumber wawancara 2 : bpk. Suharto
Sumber wawancara 3 : bpk. mujiono
Amri Marzali. 2009. Antropologi &
Pembangunan Indonesia. Jakarta: Kencana.
Heddy Shri Ahimsa Putra, dkk. 1990. Perubahan Pola
Kehidupan Masyarakat Akibat Pertumbuhan Industri di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogyakarta: Departeman Pendidika dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.
Purwadi M. 2010. Ensiklopedi Kebudayaan
Jawa. Yogyakarta: Bina Media
John M. Echols&Hassan Shadily. 2005. Kamus
Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Doddy Pamudji. 1994. Petunjuk Praktis
Usaha Katering. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.