Minggu, 27 Maret 2016

Tradisi Rewangan



Tradisi Rewangan di Desa Kwarasan Grogol Sukoharjo
(Dokumen pribadi)
Manusia dalam hidupnya mengalami beberapa peristiwa penting dalam hidupnya yaitu, kelahiran, pernikahan, dan kematian. Upacara tradisi yang berlaku untuk memperingatinya dalam masyarakat setempat adalah diselenggarakannya acara hajatan. Tetangga-tetangga datang membantu tanpa pamrih untuk membantu kelancaran proses hajatan tersebut adalah bentuk tradisi “rewangan” yang akhirakhir ini mengalami tanda-tanda pergeseran. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan penyebab terjadinya pergeseran tradisi “rewangan” dan mendeskripsikan dampak pergeseran tradisi “rewangan” di desa ngasinan, kwarasan, grogol, sukoharjo.
Rewangan berasal dari kata “rewang” yang berarti: membantu. Menurut referensi lain, “rewangan” berasal dari kata “rewang” yang berarti mara perlu tetulung. Kegiatan para wanita tetangga yang membantu di tempat tuan rumah untuk mempersiapkan makanan di dapur merupakan contoh dari aktivitas “rewang”. Menurut Heddy Shri Ahimsa Putra, kegiatan sosial di perdesaan contohnya adalah sambatan yang merupakan aktivitas kaum laki-laki, maka “rewang” dapat dilakukan oleh kedua jenis kelamin sesuai dengan aktivitasnya, walaupun dalam kenyataannya “rewang” lebih banyak ditangani kaum wanita. Membantu jika ada tetangga yang hajatan disebut “rewang”, kendati di sini ada pembagian kerja antara laki-laki dan wanita. Demikian pula dalam membantu tetangga yang kematian keluarganya. Pendek kata, segala perilaku membantu di rumah orang lain di mana orang itu bermaksud mengadakan kegiatan yang melibatkan orang banyak disebut “rewang”.
Rewang biasanya di acara pernikahan. Dimana dua hari sebelum acara pernikahan dimulai. Rewang ini biasa dilakukan oleh para ibu-ibu tetangga. Rewang dengan sambatan itu beda. Sedangkan sambatan biasa dilakukan oleh laki-laki, seperti pembangunan rumah, kerja bakti desa, dll. Banyak tempat di Jawa, kegiatan gotong royong disebut dalam istilah lokal adalah sambatan atau gentosan. Apabila kegiatan seperti itu dilakukan untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan perkarangan rumah dan perkarangan disebut guyuban; disebut njurug untuk jenis kegiatan pesta dan selamatan, dan disebut tetulung layat untuk jenis kegiatan yang berhubungan dengan kemalangan dan bencana.
Rewang atau membantu menyiapkan segala sesuatu untuk persiapan pernikahan atau hajatan lainnya masih banyak dilakukan di desa-desa. Rewang hal sederhana yang banyak menfaatnya, banyak membantu pihak lain. Tak hanya membantu tenaga mempercepat urusan memasak, tetapi rewangan juga menjadi suport untuk keluarga yang punya hajatan sehingga lebih siap dan mantap saat Hari H tiba. Tanpa diminta, biasanya para tetangga akan berdatangan saat ada tetangga yang mempunyai hajatan. Serba gratis, tenaga yang disumbangkan tidak membutuhkan imbalan jasa uang, hanya cukup dengan hantaran makanan. Karena biasanya para ibu yang rewang dari pagi sampai malam berlangsung berhari-hari dan tidak sempat memasak di rumah sehingga oleh yang punya hajatan di kirimkan makanan untuk keluarga di rumah. Memang ada yang diminta secara khusus untuk membantu misalnya ada yang mempunyai keahlian memasak nasi dalam jumlah besar atau adhang sego. Karena membutuhakn tenaga ekstra dan tidak semua ibu bisa memasak nasai dengan taanak (matang dan enak), biasanya ada orang khusus yang diminta bantuan dan di bayar jasanya. Yang seperti ini memang layak dibayar karena biasanya butuh waktu berhari-hari untuk menyiapkan nasi dalam jumlah besar. Yang terlibat dalam rewangan tidak hanya ibu tetapi juga bapak-bapak, tetapi lebih lama(bisa berhari-hari) adalah para ibu.
 Di desa saat mempunyai hajatan terutama pernikahan, minimal seminggu sebelumnya tuan rumah sudah mulai memasak. Karena tuan rumah sudah mulai memberikan hantaran makanan lengkap (wewehan) kepada pihak-pihak yang diundang. Jadi tidak hanya tamu yang diundang tidak hanya diberikan undangan saja, tetapi juga disusuli hantaran makanan yang terdiri dari nasi, dengan lauk pauk dan sayur seperti ayam, telur, tempe goreng, bergedel, sayur lombok, mie, gorengan krupuk atau peyek kacang disertai beragam panganan/makanan ringan seperti wajik, jadah, lemper, jenang, cucur, ungkusan dll. Sementara para bapak biasanya membantu rewangan saat mendekati Hari H, misalnya dua hari sebelumnya untuk tarub atau menyiapkan tempat dan dekorasi pelaminan. Dari urusan bersih-bersih rumah dan halaman sampai membantu memasangkan kajang/tenda, menata kursi dan meja menjadi bagian tugas para bapak. Rewangan merupakan kearifan lokal yang masih terpelihara sampai saat ini. Meskipun ada sebagian warga di desa yang lebih memilih praktis misalnya pesan katering saat mempunyai hajatan, tetapi sebagian besar masih tetap dengan tradisi lokal mereka. Kegotongroyongan, kerukunan, kekeluargaan, kekompokan terasa kental sekali dengan kebiasaan rewangan. Para tetangga merasa ikut serta mempunyai hajatan dengan keterlibatan dalam rewangan tersebut. Hingga tak terasa pekerjaan cepat selesai.
Menurut Koentjaraningrat, desa sebagai tempat menetap komunitas kecil. Desa tidak semata-mata terikat pada pertanian, tetapi sebagai suatu kumpulan komunitas yang memiliki ikatan warganya terhadap wilayah yang dialaminya. Selain karakteristik di atas, Roucek dan Warren menyebutkan perdesaan memiliki karakteristik sebagai berikut: Besarnya peranan kelompok primer, faktor geografik yang menentukan sebagai dasar pembentukan kelompok atau asosiasi, hubungan lebih bersifat intim dan awet, homogeny, mobilitas sosial rendah, keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi, populasi anak dalam proporsi yang lebih besar. Ciri masyarakat desa menurut buku Ensiklopedi Kebudayaan Jawa adalah memiliki kehidupan sosiokultural. Masyarakat Jawa memiliki ciriciri sebagai berikut:
1. Menjunjung kebersamaan. Rasa kebersamaan masyarakat jawa diwujudkan dalam bentuk kerja bakti, gotong-royong, gugur gunung, sambatan, jagongan, dan “rewang”. Apabila ada tetangga yang punya hajat, tanpa diundang pun tetangga yang lain bersedia dan siap membantu,
2. Suka kemitraan,
3. Mementingkan kesopanan,
4. Ahli  musim,
5. Pertimbangan religius,
6. Toleransi tinggi,
7. Hormat pada pemimpin,
8. Hidup pasrah,
9. Cinta seni,

Demikian juga ciri dan karakteristik masyarakat perdesaan di Jawa, ternyata sedikit banyak telah mengalami beberapa pergeseran, termasuk yang terjadi di Desa Kwarasan. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya beberapa pergeseran yang terjadi dengan tradisi-tradisi di perdesaan tersebut. Hubungan masyarakat lebih bersifat intim dan awet yang tercermin dari eksistensi tradisi paguyuban desa, saat ini telah terdegradasi oleh hal-hal yang bergaya modern dan individualistik. 

Daftar Pustaka
Sumber wawancara 1 : ibu Sipah Handayani
Sumber wawancara 2 : bpk. Suharto
Sumber wawancara 3 : bpk. mujiono
Amri Marzali. 2009. Antropologi & Pembangunan Indonesia. Jakarta: Kencana. 
Heddy Shri Ahimsa Putra, dkk. 1990. Perubahan Pola Kehidupan Masyarakat Akibat Pertumbuhan Industri di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departeman Pendidika dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.
Purwadi M. 2010. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Bina Media
John M. Echols&Hassan Shadily. 2005. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Doddy Pamudji. 1994. Petunjuk Praktis Usaha Katering. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Minggu, 20 Maret 2016

Tatah Sungging


    Wayang Kulit didusun Butuh, Sidowarno, Klaten. Bpk Mulyadi
(Dokumen pribadi)
     Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya (UUD, P4, (GBHN: 19-20). Kesenian adalah salah satu penyangga kebudayaan, dan berkembang menurut kondisi dari kebudayaan itu. Kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat. Sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian merupakan kreativitas dari kebudayaan dan pada dasarnya semua bentuk kesenian dianggap berasal dari ritual (kesukuan) kuna. Kesenian Jawa merupakan refleksi estetis orang Jawa dalam berinteraksi dengan lingkungannya tidak terpisah dari pola kulturnya yang makrokosmis (Drs. Imam Sutardjo, M.Hum, 2008: 54). 
Kesenian tradisional sangat penting diikutsertakan dalam rangka mensukseskan pembangunan bangsa Indonesia. Karena kesenian tradisional merupakan bagian budaya nasional, dan pembangunan nasioanal hakikatnya merupakan pembangunan manusia seutuhnya, secara adil, merata, jasmani dan rohani. Dalam membentuk budaya nasional dalam menerima pengaruh asing, hendaknya selalu berpijak pada akar dan nilai-nilai budaya bangsa sendiri. Karena bangsa yang melupakan warisan budayanya sendiri akan kehilangan kepribadiannya (Drs. Imam Sutardjo, M.Hum, 2008: 53,54).  Kesenian adalah suatu penyangga kebudayaan, dan berkembang menurut kondisi dari kebudayaan itu. Kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat. Kesenian Jawa merupakan refleksi estetis orang Jawa dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Seni adalah symbol kosmis, dan bentuk karyanya dikategorikan fundamental eksistensi manusia, yang menyajikan struktur pengetahuan tentang ada (being), kepercayaan agraris, nilai. 
Kesenian tradisional adalah suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat lingkungannya. Pengolahannya didasarkan atas cita-cita masyarakat pendukungnya.
Ciri-ciri kesenian tradisional yang berkembang di daerah-daerah mempunyai khas sendiri, yaitu:
1.      Seni yang berpengaruh dan keberadaanya pada batas wilayah tertentu.
2.      Seni yang sangat erat hubungannya dengan golongan ras, kesukuan, adat-istiadat maupun keagamaan.
3.      Merupakan bagian dari satu “cosmos” kehidupan yang bulat tanpa terbagi-bagi dalam pengkotakan spesialisasi.
4.      Karya seninya bukan merupakan hasil kreativitas perseorangan.
5.      Seninya bersifat fungsional.
(Drs. Imam Sutardjo, M.Hum, 2008: 55, 56)


Wayang sendiri berasal dari sebuah kalimat yang berbunyi “Ma Hyang”, artinya berjalan menuju yang maha tinggi (disini bisa diartikan sebagai roh, Tuhan, ataupun Dewa). Akan tetapi ada sebagian orang yang berpengertian bahwa kata wayang berasal dari bahasa Jawa yang berarti bayangan, atau yang dalam bahasa Indonesia baku adalah bayang. Hipotesa bahwa wayang berasal dari kata-kata bayang ini didapat dari bukti bahwa para penonton dapat menyaksikan pertunjukkan wayang dengan hanya melihat bayangan yang digerakkan oleh para dalang yang merangkap tugasnya sebagai narator. Dalang sendiri merupakan sebuah singkatan dari kata-kata ngudhal piwulang, dimana ngudhal berarti menyebar luaskan atau membuka dan piwulang berarti pendidikan atau ilmu. Hal ini menegaskan posisi dalang sebagai orang yang memiliki ilmu lebih dan membagikannya kepada para penonton pertunjukkan wayang.
Sejarah asal usul kesenian wayang kulit, seperti disebut diatas, tidak bisa lepas dari sejarah wayang sendiri. Tidak ada bukti konkret tentang adanya wayang sebelum abad pertama, dimana ini bertepatan dengan munculnya ajaran Hindu dan Buddha ke area Asia Tenggara. Hal ini dipercaya menjadi hipotesa bahwa seni ini datang dari India ataupun Tiongkok, dimana kedua negara tadi memiliki tradisi yang telah berjalan turun-temurun tentang penggunaan bayangan boneka atau pertunjukkan teater secara keseluruhan. Jivan Pani juga pernah mengeluarkan pendapat bahwa wayang berkembang dari dua jenis seni yang berasal dari Odisha, India Timur, yaitu Ravana Chhaya yang merupakan sebuah teater boneka dan tarian Chhau. Meski begitu, banyak juga penceritaan sejarah wayang yang memiliki dampak besar terhadap perkembangan teater boneka tradisional .
(http://www.portalsejarah.com/sejarah-asal-usul-kesenian-wayang-kulit.html,01/11/2015)

  1. Sejarah Berdirinya Sanggar Wayang
Didusun Butuh Sidowarno, klaten, mayoritas masyarakat disana membuat gallery wayang kulit disetiap rumah, mereka membuat wayang kulit dari kulit kerbu. Pembuatan wayang kulit disana termasuk tradisi turun-temurun, dari sang nenek kemudian ayah kemudian diturunkan kepada anak cucunya. kali ini saya akan berbicara kepada salah satu warga masyarakat pembut wayang, yaitu bpk. Mulyadi.
Pada awalnya Sanggar Wayang Kulit bapak Mulyadi ini bermula dari ayahnya yang dulu membuat wayang lalu kemudian sifat dari sang ayah senang membuat wayang lalu turun-temurun ke bapak Mulyadi yang pada akhirnya beliau membuat Sanggar Wayang tersebut. Bakat lainnya tidak hanya turun temurun di bapak Mulyadi saja melainkan banyak warga sekitarnya juga penghasil wayang kulit, kadang kala pak Mulyadi meminta bantuan temannya untuk menghasilkan wayang yang tidak bisa ditanganinya sendiri.
Sanggar Wayang Kulit ini merupakan suatu perusahaan yang membuat wayang kulit menggunakan kulit kerbau, perusahaan ini menggunakan kulit kerbau karena ketebalan kulit ini sangat cocok untuk pembuatan dan memudahkan kulit saat ditatah sesuai pola yang diinginkan. Perusahaan ini juga membuat wayang sesuai keinginan si pembeli.

  1. Produk yang dihasilkan dari Sanggar Wayang
Produk yang dibuat di Sanggar Wayang ini berupa wayang kulit, seperti semar, petruk, bagong, dan beliau membuat wayang tersebut sesuai keinginan dari konsumen tersebut. Beliau juga membuat wayang ukuran besar sesuai kebutuhan yang diinginkan.
  1. Pengelolaan keuangaan di Sanggar Wayang
Dana yang dihasilkan dari perusahaan wayang ini dari hasil sendiri bapak Mulyadi tidak ada bantuan dari pihak lain. Keuangan yang diperoleh bpk Mulyadi ini biasanya beliau mendapat uang setelah produk wayang yang dihasilkan sudah selesai dibuat lalu beliau menerima uang dari konsumen tersebut. Jika pemesanan pembuatan produk wayang ini melalui sumber internet dan lewat pemaketan/ pengiriman, bpk Mulyadi menarik DP atau anggaran setengah dari keseluruhan dana yang akan dibuatnya.
  1. Teknik dan Strategi pemasaran
Teknik dan pemasaran oleh bpk Mulyadi ini melalui sumber media online dan sumber dari mulut ke mulut. Langkah awal yang terpenting yang dilakukan bpk Mulyadi dalam produk wayang ini yaitu tentang kualitas, beliau membuat suatu kerajinan dengan jaminan kualitas bagus dan juga tentunnya ada harga. Harga dari kerajinan bpk Mulyadi semua sama, karena semua kualitasnya dijamin. Harga yang ditentukannya sesuai dari ukuran besar dan kecilnya kerajinan yang dibuatnya. Selain dari kualitas, perusahaan ini juga mengedepankan kenyamanan, inovasi dan kecepatan. Kecepatan yang dimaksud yaitu kecepatan tepat waktu sesuai keinginan konsumen, penempatan produk dan respon keinginan konsumen. Dan juga pelayanan dan kepuasan pelanggan.
  1. Tempat dan waktu
Perusahaan tersebut bertempat dirumahnya sendiri yakni sanggar wayang tersebut. Sanggar Wayang bertempat didusun butuh, sidowarno, klaten. Bpk Mulyadi dalam mengelola waktu, beliau membuat jadwal kegiatan sendiri yang harus dilakukan di Sanggar Wayang, yaitu pada hari senin sampai minggu beliau mulai masuk jm 08.00 – 16.00, tidak ada waktu libur untuk beliau. Ketika banyak pemesanan yang ia buat dan berjangka waktu pendek, beliau biasanya mengoperkan pekerjaan tersebut kepada temannya untuk mempermudah jalannya pekerjaan yang dia buat. Selain untuk mempermudah juga membuat silaturahmi dengan pengrajin lainnya dan untuk bekerjasama dengan yang lainnya.

Pada pembuatan wayang di sanggar ini, semua masyarakat juga ikut berpartisipasi, sehingga suatu waktu ada salah seorang warga yang kesulitan, maka warga yang lain ikut membantu. Dan biasanya jika warga mengalami kesulitan, itu biasanya persoalan pembuatan wayang dan dalam pemesanan partai.


DAFTAR PUSTAKA

 http://www.portalsejarah.com/sejarah-asal-usul-kesenian-wayang-kulit.html


Drs. Imam Sutardjo, M.Hum., Kajian Budaya Jawa, 2008, FSSR Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
sumber wawancara : bpk. Mulyadi